Rabu, 13 April 2016

Cerita Tentang Malam yang Resah

TENGAH MALAM begini saya masih duduk di depan laptop. Memandangi timeline twitter dan facebook, lalu sesekali menggerutu dan memaki dalam hati.  Sesekali lagi saya mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan yang harus diselesaikan beberapa hari lagi. Kemudian kembali menatap timeline media sosial itu. Seperti berharap ada sesuatu yang dapat saya baca. Namun rupanya tidak. Rupanya  guyonan seksis  lebih menarik dibagikan oleh kawan-kawan saya di facebook dibandingkan informasi bermanfaat. Entah bagaimana dulu saya bisa berkawan dengan mereka di facebook.

Malam kemarin dan beberapa malam sebelumnya saya membaca berita, pekerjaan sampingan saya di luar menjadi mahasiswa yang belum lulus-lulus ini. Berita mengenai kekerasan seksual. Perlahan-lahan saya mulai terlelap walaupun bacaannya belum selesai. Di sini ceritanya dimulai.

Beberapa kali saya membaca berita mengenai kekerasan seksual, tentunya dengan diikuti umpatan dari mulut saya untuk si pelaku. Menganalisa berita kekerasan ini tidak semudah melihat bagaimana tone berita hari ini mengenai perusahaan kita. Lebih kompleks dari itu, melibatkan hati dan juga otak yang harus selalu berjalan beriringan. Mungkin saya lelah, sampai akhirnya tertidur sendiri.

Mimpi saya aneh. Malam pertama, saya sangat terhina dengan mimpi saya sendiri. Pasalnya, dalam mimpi itu saya digambarkan menjadi seorang plagiat dalam sebuah karya tulis saya. entah apa maksudnya. Malam kedua saya mimpi disidang untuk penelitian saya. sungguh, ini bukan rekayasa. Hasilnya menggantung, mungkin Tuhan sedang menyolek saya untuk kembali melihat penelitian saya yang memang sebentar lagi akan disidangkan.

Entah bagaimana hubungannya, tapi akhir-akhir ini saya merasa mendapatkan tekanan yang sangat tinggi dari diri saya sendiri. Selain karena memang sedang memikirkan hasil penelitian saya, berita yang saya temui di analisa media tersebut ternyata diam-diam membawa saya pada pengalaman buruk yang pernah saya alami beberapa tahun lalu. Tepatnya, saya pernah menjadi korban bully-ing di masa-masa SMP saya karena tubuh saya yang dianggap tidak pantas untuk anak SMP.

Hidup tidak bisa seadil yang saya pernah bayangkan ketika saya kecil. Dulunya saya menganggap dunia akan indah saja meskipun saya beranjak dewasa. Nyatanya tidak. Terpapar realitas membuat saya semakin mengutuk diri sendiri yang  hanya bisa diam. Hari ini saya membaca berita ibu-ibu petani dari sebuah daerah yang datang ke Jakarta untuk bertemu presiden, untuk bicara mengenai penolakkan warga mengenai pembangunan pabrik semen di daerahnya. Memasung kaki mereka menggunakan semen sebagai bentuk bahwa pabrik semen tersebut kelak akan memenjara mereka, sama seperti yang dilakukan oleh pasungan tersebut. Padahal wilayah itu adalah milik mereka sendiri dan di sanalah mereka hidup, mencari makan, dan beristirahat.

Saya hanya bisa tercengang, menangis, dan sampai saat ini mengungkapkan kekesalan saya melalui tulisan. Meski tulisan ini tidak beruntun.. tapi memang ini yang saya butuhkan sebagai cara menyembuhkan jiwa saya yang mungkin –kelak pada waktunya- akan benar-benar tidak dapat sembuh. Tidak ada solusi yang dapat saya berikan dari tulisan ini, karena memang tulisan ini adalah tulisan kedepresian saya dalam melihat realitas. Saya takut akan realitas. Misalnya di depan saya ada jam yang menujjukkan pukul 12.44. Sedangkan besok pagi saya harus tetap menyelesaikan tugas yang tertunda. Dan entah kenapa, saya mulai takut dengan diri saya sendiri sekarang. Mungkin sudah saatnya tidur dan berimajinasi kembali.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar