Minggu, 04 September 2016

Hidup dan Mati



Hidup dan kematian hanya dibatasi oleh suatu tangisan.
Disambut dan dilepas dengan tangis.
Kadang tangisan pun terlalu abstrak untuk digambarkan sebagai simbol kepedihan atau kebahagiaan.
Toh keduanya bisa saja terjadi bersamaan.
Terbentuk oleh pikiran kita yang mengaburkan batasan antara keduanya.

Begitu juga mati.
Apa benar kelahiran adalah penanda kita hidup.
Atau kematian adalah penanda kita selesai untuk hidup.
Atau justru kematian adalah awal dari kehidupan yang sesungguhnya.
Batasnya semakin kabur.
Yang Saya tahu, kita semakin takut untuk menujunya.
Takut untuk meninggalkan kita yang ada di muka bumi.

Kehidupan setelah kematian semakin kabur dan berkabut.
Oleh manusia-manusia yang percaya, hidup adalah mengenai menginjak tanah di bumi.
Kemudian dibuat kabur dan buram oleh orang yang menganggap ada kehidupan.
Berlari menuju kematian sebelum tiba saatnya nama yang dipanggil.

Kelahiran dan kematian hanyalah sebuah kata.
Yang bermakna pada setiap kepala yang memaknainya.
Kelahiran dan kematian hanyalah sepasang kata mengawali dan mengakhiri.
Bagi kita yang terlalu naïf.
Karena hidup ternyata lebih rumit dari pada itu.


Sabtu, 03 September 2016

Jul dan Doa Seorang Penyintas

Seorang anak Perempuan lari tergopoh-gopoh ke salah satu ruangan yang berada di ujung koridor. Suasana nampak sepi tak berpenghuni, sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci yang diucapkan berhati-hati. Ruangan tersebut gelap dan hanya beberapa guru yang sedang bercakap-cakap di sana, sembari menikmati sarapan mereka. Sesekali suara mesin mobil menyala, pertanda beberapa jemputan anak-anak SD tersebut kembali pulang ke mana mereka seharusnya. Karena ternyata peraturan sekolah tidak membolehkan mereka masuk dan berlama-lama di sekolah. Anak-anak harus mandiri bersama guru, ujar mereka.

Jantung Juli berdegup kencang, Ia masih tidak percaya apa yang dilakukannya sampai sejauh ini. Biasanya berlindung di balik meja sudahlah cukup baginya, diam tidak bersuara yang penting hari tersebut akan segera berlalu baginya. Kali ini, Ia mengambil langkah yang jauh dari biasanya. Ia lari ke ruangan guru untuk mengucap sepatah dua patah kata apa yang ada di dalam pikirannya, berharap Ia bisa menjadi orang yang cukup dewasa untuk dapat berucap secara jelas. Jul hanyalah murid kelas 4 SD, bahkan Ia tidak tahu menahu saat itu apa yang dialaminya salah ataupun benar.

Baginya, melangkahkan kaki keluar dari meja adalah hal yang baru dan penuh keberanian, terlebih Ia memiliki tujuan yang sangat besar. Tujuan untuk mengungkapkan apa yang baru dialaminya, dan ini bukan yang pertama kali dalam hidupnya. Tapi ketika sudah berdiri di depan ruangan guru, Ia hanya bisa berdiri dan terdiam. Mulutnya ingin bercerita namun kakinya beku bak ditimpa semen basah yang kemudian mengering. Jul menangis, bukan hanya karena perlakuan yang Ia dapatkan di dalam kelas. Namun juga karena Ia tidak dapat bersuara ketika seharusnya Ia dapat bersuara.

Jul sempat berpikiran bahwa apa yang Ia alami di hari-hari itu adalah karena bentuk tubuhnya sendiri. Ia harus mendapat perlakuan berbeda dari salah seorang kawannya, yang sepertinya memiliki kesalahan dalam otaknya. Jul takut diberikan stigma dari lingkungannya atas apa yang terjadi padanya, Ia takut dihujat Ia takut diberikan stempel ‘anak nakal’ karena Ia telah menanggung semua perlakuan kawannya, sampai anak sekecil Jul harus dapat berpikir keras sejauh apa salahnya pada dunia. Toh dia tidak pernah berbuat apa-apa. Kini setelah Ia berumur 25 tahun barulah Ia tahu bahwa apa yang dialaminya bukanlah setitikpun kesalahannya. Ia menjadi korban tindak kekerasan seksual dari kawannya yang memiliki relasi kuasa. Anak laki-laki itu adalah seorang ‘jagoan’ di kelas tersebut. Ini yang menyebabkan tidak ada satupun siswa yang berani melawannya. Termasuk kawan-kawan di dalam lingkarannya.

Kini Jul mencoba berdiri di atas sebelah kakinya, mencoba agar tetap seimbang meski Ia tahu kaki sebelahnya tidak pernah Ia latih untuk berlari. Ia tumbuh berdasarkan logika, dan mencoba mematikan hatinya karena Ia terlalu takut untuk ditikam kembali.
###

Kisah tersebut bercerita tentang pengalaman nyata seorang penyintas yang mengalami kekerasan seksual ketika Ia masih kecil. Tidak banyak yang terlalu konsen dengan permasalahan ini. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja. Bahkan terjadi pada anak-anak, sampai dewasa. Kisah Juli bisa saja terjadi pada kita, anak kita kelak, ponakan kita, adik kita, atau orang-orang terdekat kita.

Seorang korban kekerasan seksual cenderung menutup mulut serapat-rapatnya karena takut dianggap menjadi aib keluarga dan takut dianggap menjadi manusia yang tidak berguna. Ini terjadi pada anak-anak dan juga orang dewasa. Ketika kekerasan seksual datang, Ia khas. Ia bicara mengenai pengalaman ketubuhan seseorang. Bahkan jiwa dan raganya  bisa menjadi mati karena itu. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, kejahatan kriminal karena ada niatan untuk merusak diri orang lain. Menurut Saya, ini tidak dapat dianggap sepele dan menjadikan kasus kekerasan seksual semata-mata sebagai persoalan moralitas saja.

Banyak Juli yang lain di dunia ini. Mereka diam dalam kesunyian, tidak jarang mereka berdiri hanya di sebelah kakinya sedangkan kaki yang lainnya lumpuh. Terseok-seok menjalani tuntutan hidup, berada di ambang hidup dan mati. Karena hidup terlalu berat dan mati belum tentu menjadi jawaban dari semua pertanyaan. Apa mati benar-benar dapat menghabiskan semua ingatan, keperihan, dan juga keputusasaan?

Juli adalah Saya, Juli adalah kamu yang teriris saat membaca kisahnya. Juli adalah kita. Saya rasa Saya dapat mengaminkan doa bahwa kelak akan ada keadilan yang nyata untuk penyintas-penyintas seperti Jul. 

Jadilah cahaya dan jangan memberikan beban pada Jul. Karena bagaimanapun juga, Jul dan seluruh manusia di bumi ini berhak untuk bahagia.

-3 September 2016-

Untuk Jul, aku, dan manusia.