Seorang anak
Perempuan lari tergopoh-gopoh ke salah satu ruangan yang berada di ujung
koridor. Suasana nampak sepi tak berpenghuni, sayup-sayup terdengar lantunan
ayat suci yang diucapkan berhati-hati. Ruangan tersebut gelap dan hanya
beberapa guru yang sedang bercakap-cakap di sana, sembari menikmati sarapan
mereka. Sesekali suara mesin mobil menyala, pertanda beberapa jemputan
anak-anak SD tersebut kembali pulang ke mana mereka seharusnya. Karena ternyata
peraturan sekolah tidak membolehkan mereka masuk dan berlama-lama di sekolah. Anak-anak
harus mandiri bersama guru, ujar mereka.
Jantung Juli
berdegup kencang, Ia masih tidak percaya apa yang dilakukannya sampai sejauh
ini. Biasanya berlindung di balik meja sudahlah cukup baginya, diam tidak
bersuara yang penting hari tersebut akan segera berlalu baginya. Kali ini, Ia
mengambil langkah yang jauh dari biasanya. Ia lari ke ruangan guru untuk
mengucap sepatah dua patah kata apa yang ada di dalam pikirannya, berharap Ia
bisa menjadi orang yang cukup dewasa untuk dapat berucap secara jelas. Jul
hanyalah murid kelas 4 SD, bahkan Ia tidak tahu menahu saat itu apa yang
dialaminya salah ataupun benar.
Baginya,
melangkahkan kaki keluar dari meja adalah hal yang baru dan penuh keberanian, terlebih
Ia memiliki tujuan yang sangat besar. Tujuan untuk mengungkapkan apa yang baru
dialaminya, dan ini bukan yang pertama kali dalam hidupnya. Tapi ketika sudah
berdiri di depan ruangan guru, Ia hanya bisa berdiri dan terdiam. Mulutnya ingin
bercerita namun kakinya beku bak ditimpa semen basah yang kemudian mengering. Jul
menangis, bukan hanya karena perlakuan yang Ia dapatkan di dalam kelas. Namun juga
karena Ia tidak dapat bersuara ketika seharusnya Ia dapat bersuara.
Jul sempat
berpikiran bahwa apa yang Ia alami di hari-hari itu adalah karena bentuk
tubuhnya sendiri. Ia harus mendapat perlakuan berbeda dari salah seorang
kawannya, yang sepertinya memiliki kesalahan dalam otaknya. Jul takut diberikan
stigma dari lingkungannya atas apa yang terjadi padanya, Ia takut dihujat Ia
takut diberikan stempel ‘anak nakal’ karena Ia telah menanggung semua perlakuan
kawannya, sampai anak sekecil Jul harus dapat berpikir keras sejauh apa
salahnya pada dunia. Toh dia tidak pernah berbuat apa-apa. Kini setelah Ia
berumur 25 tahun barulah Ia tahu bahwa apa yang dialaminya bukanlah setitikpun
kesalahannya. Ia menjadi korban tindak kekerasan seksual dari kawannya yang
memiliki relasi kuasa. Anak laki-laki itu adalah seorang ‘jagoan’ di kelas
tersebut. Ini yang menyebabkan tidak ada satupun siswa yang berani melawannya. Termasuk
kawan-kawan di dalam lingkarannya.
Kini Jul
mencoba berdiri di atas sebelah kakinya, mencoba agar tetap seimbang meski Ia
tahu kaki sebelahnya tidak pernah Ia latih untuk berlari. Ia tumbuh berdasarkan
logika, dan mencoba mematikan hatinya karena Ia terlalu takut untuk ditikam
kembali.
###
Kisah tersebut bercerita tentang pengalaman nyata
seorang penyintas yang mengalami kekerasan seksual ketika Ia masih kecil. Tidak
banyak yang terlalu konsen dengan permasalahan ini. Kekerasan seksual dapat
terjadi di mana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja. Bahkan terjadi pada
anak-anak, sampai dewasa. Kisah Juli bisa saja terjadi pada kita,
anak kita kelak, ponakan kita, adik kita, atau orang-orang terdekat kita.
Seorang korban kekerasan seksual cenderung
menutup mulut serapat-rapatnya karena takut dianggap menjadi aib keluarga dan
takut dianggap menjadi manusia yang tidak berguna. Ini terjadi pada anak-anak
dan juga orang dewasa. Ketika kekerasan seksual datang, Ia khas. Ia bicara
mengenai pengalaman ketubuhan seseorang. Bahkan jiwa dan raganya bisa menjadi mati karena itu. Kekerasan seksual
adalah kejahatan kemanusiaan, kejahatan kriminal karena ada niatan untuk
merusak diri orang lain. Menurut Saya, ini tidak dapat dianggap sepele dan
menjadikan kasus kekerasan seksual semata-mata sebagai persoalan moralitas
saja.
Banyak Juli yang lain di dunia ini. Mereka
diam dalam kesunyian, tidak jarang mereka berdiri hanya di sebelah kakinya
sedangkan kaki yang lainnya lumpuh. Terseok-seok menjalani tuntutan hidup,
berada di ambang hidup dan mati. Karena hidup terlalu berat dan mati belum
tentu menjadi jawaban dari semua pertanyaan. Apa mati benar-benar dapat
menghabiskan semua ingatan, keperihan, dan juga keputusasaan?
Juli adalah Saya, Juli adalah kamu yang
teriris saat membaca kisahnya. Juli adalah kita. Saya rasa Saya dapat
mengaminkan doa bahwa kelak akan ada keadilan yang nyata untuk
penyintas-penyintas seperti Jul.
Jadilah cahaya dan jangan memberikan beban pada Jul. Karena bagaimanapun juga, Jul dan seluruh manusia di bumi ini
berhak untuk bahagia.
-3 September 2016-
Untuk Jul, aku, dan manusia.