Selasa, 13 Oktober 2015

Kenangan untuk Mahar.

Siang itu di sebuah lapangan luas dan dikelilingi ilalang, muncul bangunan yang berdiri dari beberapa kayu yang tersusun. Tidak lama sebelumnya, bangunan itu digunakan sebagai latar sebuah drama yang menceritakan kisah anak-anak di kampong kami, Belitung. Cerita yang membuat masyarakat kota sadar bahwa masih ada ketidakadilan dalam hal pendidikan, yang membedakan untuk si miskin dan si kaya. Semua orang dibuat senang dengan pemandangan indahnya, sekaligus dibuat prihatin dengan kenyataan pahit masyarakat pinggiran.

Anak itu yang bermain menjadi Mahar, seorang anak SD yang membawa radio ke mana-mana, menyukai musik jazz, dan kerap menggunakan kata ‘boi’ di setiap percakapannya dengan kawan sekelas. Ia sangat periang, tapi jangan pernah sekali-kali memanggilnya manja. Dia akan diam dalam kemarahannya, walaupun beberapa saat kemudian Ia akan mengeluarkan lawakan-lawakan baru dari mulutnya.

Kami melalui hari yang indah. Selama beberapa tahun pergi ke sana, saya baru pertama kali memiliki niat untuk benar-benar belajar budaya belitong. Tidak perlu jauh ke Bali sana untuk menemukan keindahan ini, kampong saya pun juga punya. Saya kembali ke Jakarta, sedangkan Mahar masih di sana untuk melanjutkan sekolahnya. Pertemuan kami sebelum saya pulang, umak (ibu mahar) mengingatkan untuk jangan pernah melupakan mereka. Saya berjanji, setelah pertemuan itu kami sudah seperti saudara.

Hingga pada saatnya, saya mendengar bahwa Mahar harus pergi meninggalkan dunia ini. Justru saat Ia sedang berada di Jakarta untuk melanjutkan studinya di salah satu sekolah seni terkenal di Jakarta. Beberapa kali kami bertemu, hingga akhirnya, lebaran tahun 2014 Saya dan keluarga pulang ke Belitung. Tidak lupa, saya mengabarkan adik saya, mahar untuk bertemu kembali. Kami bertemu, Mahar datang ke rumah di saat puasa, saat itu ia dan kawan-kawannya sedang meminta sumbangan untuk apa Saya juga lupa.

Siang itu, untuk pertama kalinya saya meminta mahar untuk bertemu Pak cik Andrea Hirata di museumnya. Mahar menyetujui dan kami pergi ke sana. Kebetulan saat itu pak cik memang sedang ada di museumnya untuk renovasi bangunan. Sama seperti saya, ternyata itu adalah pertemuan pak cik yang terakhir dengan mahar.

Ruangan itu semakin sempit, banyak kenangan. Banyak sesuatu tentang mahar di sana. Bukan Verrys. Tapi mahar. Entah kenapa, ruangan-ruangan museum itu selalu membuat saya ingin pergi ke sana. Bukan untuk melihat jejeran piala. Tapi untuk duduk sejenak, mengingat di mana awal kami jumpa dan di mana akhir kami jumpa. Masih dalam suasana laskar pelangi. Mahar mengantarkan dan memperkenalkan saya dengan sekolah muhammadiyah, lascar pelangi saat pertemuan pertama. Pada pertemuan terakhir, mahar mengantarkan saya ke museum kata milik andrea hirata, yang jelas sekali isinya tentang laskar pelangi.


Sampai saat ini saya masih tidak percaya akan kematiannya yang penuh kenangan. Belum sempat saya mengunjungi rumah kosannya di Jakarta, dia harus pulang terlebih dahulu. Semoga dirimu selalu tenang di sana. Kami sayang kamu Ver. Buatlah bidadari tertawa, seperti kamu memberikan tawa pada umat manusia.