Siang
itu di sebuah lapangan luas dan dikelilingi ilalang, muncul bangunan yang
berdiri dari beberapa kayu yang tersusun. Tidak lama sebelumnya, bangunan itu
digunakan sebagai latar sebuah drama yang menceritakan kisah anak-anak di
kampong kami, Belitung. Cerita yang membuat masyarakat kota sadar bahwa masih
ada ketidakadilan dalam hal pendidikan, yang membedakan untuk si miskin dan si
kaya. Semua orang dibuat senang dengan pemandangan indahnya, sekaligus dibuat
prihatin dengan kenyataan pahit masyarakat pinggiran.
Anak
itu yang bermain menjadi Mahar, seorang anak SD yang membawa radio ke
mana-mana, menyukai musik jazz, dan kerap menggunakan kata ‘boi’ di setiap
percakapannya dengan kawan sekelas. Ia sangat periang, tapi jangan pernah
sekali-kali memanggilnya manja. Dia akan diam dalam kemarahannya, walaupun
beberapa saat kemudian Ia akan mengeluarkan lawakan-lawakan baru dari mulutnya.
Kami
melalui hari yang indah. Selama beberapa tahun pergi ke sana, saya baru pertama
kali memiliki niat untuk benar-benar belajar budaya belitong. Tidak perlu jauh
ke Bali sana untuk menemukan keindahan ini, kampong saya pun juga punya. Saya kembali
ke Jakarta, sedangkan Mahar masih di sana untuk melanjutkan sekolahnya. Pertemuan
kami sebelum saya pulang, umak (ibu mahar) mengingatkan untuk jangan pernah
melupakan mereka. Saya berjanji, setelah pertemuan itu kami sudah seperti
saudara.
Hingga
pada saatnya, saya mendengar bahwa Mahar harus pergi meninggalkan dunia ini. Justru
saat Ia sedang berada di Jakarta untuk melanjutkan studinya di salah satu
sekolah seni terkenal di Jakarta. Beberapa kali kami bertemu, hingga akhirnya,
lebaran tahun 2014 Saya dan keluarga pulang ke Belitung. Tidak lupa, saya
mengabarkan adik saya, mahar untuk bertemu kembali. Kami bertemu, Mahar datang
ke rumah di saat puasa, saat itu ia dan kawan-kawannya sedang meminta sumbangan
untuk apa Saya juga lupa.
Siang
itu, untuk pertama kalinya saya meminta mahar untuk bertemu Pak cik Andrea
Hirata di museumnya. Mahar menyetujui dan kami pergi ke sana. Kebetulan saat
itu pak cik memang sedang ada di museumnya untuk renovasi bangunan. Sama seperti
saya, ternyata itu adalah pertemuan pak cik yang terakhir dengan mahar.
Ruangan
itu semakin sempit, banyak kenangan. Banyak sesuatu tentang mahar di sana. Bukan
Verrys. Tapi mahar. Entah kenapa, ruangan-ruangan museum itu selalu membuat
saya ingin pergi ke sana. Bukan untuk melihat jejeran piala. Tapi untuk duduk
sejenak, mengingat di mana awal kami jumpa dan di mana akhir kami jumpa. Masih dalam
suasana laskar pelangi. Mahar mengantarkan dan memperkenalkan saya dengan
sekolah muhammadiyah, lascar pelangi saat pertemuan pertama. Pada pertemuan
terakhir, mahar mengantarkan saya ke museum kata milik andrea hirata, yang
jelas sekali isinya tentang laskar pelangi.
Sampai
saat ini saya masih tidak percaya akan kematiannya yang penuh kenangan. Belum sempat
saya mengunjungi rumah kosannya di Jakarta, dia harus pulang terlebih dahulu. Semoga
dirimu selalu tenang di sana. Kami sayang kamu Ver. Buatlah bidadari tertawa,
seperti kamu memberikan tawa pada umat manusia.