Selasa, 23 Oktober 2012

Lesung pipi Jul



SEPI itu ketika setiap detakkan jam dinding dapat kudengar dengan jelas. Sepi itu sebuah hampa yang tidak dapat aku tembus dengan kesendirian. Sepi itu adalah ketidakadaan suasana mendukung untuk menjadi bahagia, sepi itu pilu.
Ruangan kamarku ini masih sama seperti 2 tahun yang lalu ketika aku meninggalkannya. Masih memiliki 1 kasur, 1 lemari besar,4 buah kaca di setiap sudut ruangan, sebuah meja kecil untuk barang-barangku, dan sebuah meja rias tepat di depan kasur. Kamar ini masih saja berwarna biru muda dengan wallpaper doraemon dari setengah  tembok ini. Kasur kayu yang sudah 15 tahun ada di rumah ini. Mama sengaja tidak memindahkan barang-barang ini karena ini adalah identitas diriku. Mereka bilang aku seperti anak-anak, tapi inilah aku. Aku tumbuh menjadi remaja dengan latar belakang aku masih menjadi anak-anak.
Ada yang baru di kamar ini setelah aku meninggalkannya cukup lama. Ada sebuah lukisan di sebelah lemari bajuku. Lukisan tersebut mungkin dibawa Reina, anak pembantuku yang menempati kamarku selama aku di Bandung. Lukisan itu adalah seseorang yang memiliki hidung mancung, bibir tipis, mata besar dan bulat, dan bulu mata lentik serta memiliki lesung pipi di pipi sebelah kanannya. Itu yang unik. Ia hanya memiliki 1 lesung pipi di pipinya. Aku tersenyum melihatnya. Wajah yang cantik, ah tidak ia tampan. Apakah ia masih hidup? Ataukah ia adalah kekasih dari Reina? Ah beruntung sekali reina memiliki kekasih seperti ia. Sedangkan wajah reina tidak secantik wajahku .
            Tubuh yang lelah ini sengaja kurebahkan pada kasur berwarna biru tua. Sambil membayangkan wajah itu, aku tebawa pada suasana malam itu. Malam yang dingin dengan kamarku juga yang sangat dingin. Terasa pelukan hangat dari sampingku. Halusinasi. Hanya halusinasi yang mengantarku tidur pulas dengan kelembutan.
***
            Dalam sebuah taman fantasi, aku menemukannya terbaring dalam balutan jubah putih. Dengan tudung putih. Wajah itu pucat, matanya tertutup, bibirnya kering, dan hidungnya bergantian menarik dan menghela nafas. Beberapa detik kemudian ketika aku mendekati tubuh yang tergeletak begitu saja di bawah pohon berwarna ungu ia mencoba untuk membuka matanya. Terlihat ia kesulitan dalam membuka sepasang mata indah itu. Aku menemukan sebuah keindahan dalam wajahnya.
            Ia terbangun dan menatapku takut. Aku tidak tahu apakah ia seorang laki-laki ataukah seorang wanita. Tidak ada yang jelas bisa kulihat dari balik balutan jubah putihnya itu. Tangannya bergerak sedikit demi sedikit memeriksa suhu pada lehernya. Ia sangat pucat. Kalaupun ia wanita tidak ada bekas lipstik, bedak, eyeliner, ataupun blush on pada wajahnya. Pucat. Seperti mayat baru mati.
            “siapa kau?” Ia seperti ketakutan melihatku memperhatikannya terus menerus.
            Aku terkejut karena balasannya atas tatapanku yang kurasa sudah terlihat sangat memberikan rasa iba. “aku June. Aku melihatmu di samping lemariku?” tidak lupa aku bertanya padanya masalah lukisannya yang terletak di sebelah lemariku.
            “kau tidak perlu tahu siapa aku, June. Aku juli” jawabnya
            “nama kita sama?”
            “hampir sedikit saja” ia mulai membuatku nyaman dengannya. Wajahnya mulai menunjukkan kalau ia juga sudah membuka hatinya untuk berkawan denganku. “ini tempat tinggalku. Tempat tinggal keluarga dan kerabatku” ia memperkenalkan asalnya.
            “loh? Aneh. Aku tidak pernah tau di mana ini? Apa ini di bumi? Mengapa pohon ini berwarna ungu? Mengapa sungai itu berwarna merah pekat?” aku menunjuk suatu sungai pada Jul. Sungai yang kira-kira berada 5 meter di depanku itu berwarna merah pekat. Seperti darah yang mengalir di dalam sungai.
            “ikut aku” ia mengajakku dengan menggenggam tanganku. Terasa sebuah getaran kecil di dadaku. Genggaman tangan seorang laki-laki. Membuatku nyaman dan aman. Membuatku terbawa suasana dan menuruti makhluk yang baru pertama kali kutemui ini.
            Jul membawaku pada satu daerah yang aneh. Entah di mana itu. Wanita di sana berjubah putih semua. Mereka selalu melotot tapi mereka manusia. Aku meyakinkan itu dalam hatiku. Mereka adalah manusia sama sepertiku. Walaupun hatiku berkata berbeda. Rumah Jul adalah satu-satunya rumah yang mewah di sana. Tidak ada seorangpun di rumahnya. Ia tinggal seorang diri tanpa orang tua dan saudara. Rumahnya sepi tapi ramai. Aku tidak dapat mendeksripsikan keramaian apa itu. Yang kutangkap ada sebuah suara desiran ombak.
            Aku tidak akan bertanya pada Jul suara apa itu. Aku hanya akan membuatnya menertawakan kebodohanku. Pertanyaan yang bagiku penting akan tidak terlalu penting jika harus ditanyakan pada makhluk ini.
            “ayo kita keliling kota” Jul mulai dengan pernyataan idiotnya. Ia tahu aku begitu lelah untuk mencapai rumahnya ini. Tapi sekarang ia mengajakku untuk berkeliling kota kembali. Yang kulihat,tidak ada satupun kendaraan di jalan tadi. Semuanya pergi menggunakan kedua kakinya masing-masing.
            “kau gila jul! Aku lelah. Aku butuh istirahat.”
            “tidak ada kamar lebih” jul membantah.
            “aku tidur di kamarmu”
            “tidak!” bentak Jul cukup keras. Aku mulai merasakan suatu yang beda. Aku yakin pada satu pandanganku terhadap Jul. Keyakinan awalku melihatnya.
            Suara jul adalah satu-satunya suara yang terdengar begitu di dunia. Tidak seperti laki-laki tapi tidak seperti perempuan juga. Suaranya melengking namun tidak lembut. Suaranya membuatku penasaran siapa makhluk ini.
***
            Terbangun aku ketika sang mentari menyinarkan pancaran cahaya pada bumi ini. Bumi di mana semua makhluk aneh berada. Aku berada dalam sebuah kamar bercat putih, tempat tidur putih, lemari dengan warna putih pula, dan sebuah pembatas ruangan bergorden putih. Ada suara gemercik air di balik gorden itu. Seseorang sedang mandi di balik gorden itu. Pasti Jul. Aku tidak seberani itu untuk mengintip Jul mandi. Kalau ia adalah wanita mungkin ia bisa maklum, namun jika ia seorang pria, penjelasan apa yang harus kuberikan padanya?
            Seorang yang memakai handuk setengah badan keluar dari ruangan yang ternyata kamar mandi tersebut. Rambutnya hanya 3 cm dengan badan yang berisi tapi tidak terlalu gemuk. Ia adalah Jul tanpa jubah dan penutup kepalanya.
            Ia melihatku dengan ekspresi seakan-akan aku mengintipnya mandi, ia menutup wajahnya dan mencari jubah beserta penutup kepalanya. Ia benar-benar aneh.
            aku mendekatinya dengan langkah penasaran. Jul benar-benar membuatku gila! Hanya ingin melihatnya saja aku harus berjalan pelan tanpa suara. Ia masih sibuk dengan pencarian jubahnya. Ia lupa menaruhnya di samping tempat tidurnya yang jaraknya lebih dekat padaku.
            “jubahmu?” tanyaku mengayunkan leherku dengan senyuman super lebar. Membuat makhluk itu kaget dan menutup wajahnya malu.
            “tutup matamu june!” bentak laki-laki itu malu.
            Jarakku lebih kudekatkan padanya. Jemari-jemarinya itu kini telah kugenggam kencang. Matanya tertutup sama seperti pertama kami bertemu. Ia tidak berani menatapku yang hanya memakai atasan kemeja kebesaran dan celana pendek yang lebih terlihat aku tidak memakainya.
            “jul, aku hanya ingin lihat dirimu.” Pintaku padanya dengan rayuan maut mataku ini. Ketika ia membuka matanya aku mulai memainkan mataku yang kebanyakan orang bilang keindahan ini.
            Ia menatap mataku dan luluh pada sepasang mata indah ini. Jul menyerahkan keindahan dirinya padaku untuk aku perhatikan. Ingin rasanya aku memeluk tubuh itu. Jul masih saja pada kedataran wajahnya.
            Aku melepaskan genggamanku dan tersenyum pada makhluk ini. Ia tersenyum lembut padaku, sebuah lesung pipi di pipi kanan Jul membuatku mabuk kepayang. Lesung pipi itu yang membuatku terbang ke angkasa menembus awan. Lesung pipi itu yang membuatku masih ingin tertidur seperti ini.
***
            Tersadar bahwa ini semua hanya mimpi dan ketika aku terbangun aku ada dalam suatu kamar berwarna biru. Bukan kamar berwarna putih. Kamar yang kerap kulihat dalam hari-hariku. Tanpa seorang Jul.
            Mataku masih mencari-cari jejak Jul. Lukisan itu pecah berantakan. Berserakan bagaikan sampah masuk ke dalam tempat sampah kecil di kamarku. Kurapikan kembali lukisan itu.
            Kurapihkan dan kususun lukisan itu seperti semula. Ada satu titik di lukisan ini yang hilang. Lesung pipi Jul. Aku mencari nya dalam semua tempat di kamarku. Setiap sudut aku bedah. Semuanya. Lesung pipi Jul hilang.
            aku tenggelam dalam kesedihan dan kehilangan sosok yang membuatku merasakan beda dalam setiap desiran darahku, setiap detakkan jantungku, dan setiap hembusan nafasku. Tidak berhenti aku terdiam melamun pada waktu bulan menari di atas sana bersama dayang bintang.
            “jun” sesosok yang kucari berdiri di sebelah lemari. Ia tersenyum dengan sebuah lesung pipi di sebelah kanan pipinya. Ia memberikan tangan kanannya. Jul menggunakan jubah putihnya tanpa penutup kepala. Aku memeluknya erat. Kupejamkan mataku sebagai bentuk aku sedang khusyuk dalam kehangatan sebuah pelukan.
***
            Aku berada pada kamar putih itu lagi! Kamar yang semua isinya berwarna putih. Ketika ku terbangun kali ini di kamar ini ada Jul yang masih memelukku erat dalam lelap tidurnya. Mungkin ini malam hari di dunia yang berbeda ini. Jul selalu ingin mengajakku untuk bermain di luar sana. Berjalan-jalan keliling kota sekedar memamerkan kota tempatnya tinggal.
            “jul” aku memandang wajahnya dari dekat sekarang. Lesung pipi itu, aku telah menemukannya sekarang. “jul bangun” aku mencoba untuk membangunkannya.
            Sudah hampir 3 jam aku mencoba membangunkan Jul. Ia tetap terpejam. Dalam pelukanku. Ia tetap terpejam walau suaraku hampir habis memanggil namanya. Jul.
            Air mata ini semakin hangat membasahi pipi. Jul tidak akan bangun, tidak untuk selama-lamanya. Dan ketika aku membuka mataku perlahan aku ada dalam sebuah kamar biru. Bukan kamar putih lagi.
***
            Pertama yang kulihat dan kudengar adalah John dengan hardikannya yang membuatku takut. Aku tertidur beberapa jam dengan tanpa sehelai benangpun di tubuhku. Ia mencoba membunuhku dengan tatapan tajamnya dan tusukan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
            Setiap ia mengeluarkan pisau aku selalu tertidur dan merasa tenang dengan kegelisahanku ini. Setiap hari yang kurasakan adalah ini. John selalu ingin membunuhku di waktu pagi, siang, dan malam. Ia adalah pilihan tidak tepat orang tuaku untuk menjadikannya suamiku. Aku sama sekali benci John. Dia ingin membunuhku! Di kantongnya selalu ia menyembunyikan pisau belati. Entah apa yang membuatku selaku tertidur ketika ia ingin membunuhku.
            Aku ingin bersama mu di sana. Aku merindukanmu dalam setiap hembusan nafasku, dalam setiap detakan jantungku, dalam setiap langkahku, dalam setiap halusinasiku padamu. Mungkin sekarang kau pergi, namun suatu saat nanti jika kau kembali padaku aku tidak akan pernah melupakanmu. Dalam setiap pikiranku, aku mencintaimu, JUL.
***
Tangerang, 20 oktober 2012
Pada tengah malam yang dingin