Minggu, 19 Juli 2015

MENGENAL KULINER KHAS TANGERANG

Jika berjalan-jalan ke Tangerang, tidak lengkap rasanya jika kita tidak mencicipi makanan-makanan yang ada di kota ini. Karena memang di kota ini, terdapat banyak sekali kuliner yang dapat kita kunjungi satu-persatu. Banyak lokasi yang menyediakan kuliner-kuliner terkenal di Tangerang, mulai dari kuliner kaki lima hingga kuliner yang sudah masuk ke dalam mall. Penyebarannya pun cukup jauh. Tapi biasanya di tiap daerah di kota ini, akan ada satu lokasi di mana semua kuliner-kuliner tersebut bisa kita datangi. Untuk lokasi kuliner kaki lima, pusat terlengkapnya bisa kita temui di pasar lama, Tangerang. Kalau pagi kita berkunjung ke pasar ini, kita akan menemukan beberapa makanan seperti lontong sayur, bubur ayam, sampai nasi bakar. Kue-kue basah juga dijajarkan rapih di sana, mulai dari jajanan khas Tangerang, sampai jajanan daerah semua ada di sana. Ditambah lagi, kalau pagi-pagi kita ke sana, kita bisa sekaligus menikmati berbelanja pagi di dalam pasar yang berjualan bahan-bahan makanan mentah. Bahkan ada juga yang membuka rumah makan yang menjual sate dan juga es khas Tangerang di dalam pasar tersebut.

Dari sekian banyak makanan yang dijual dan ramai dikunjungi, ternyata ada makanan yang benar-benar memang berasal dari daerah Tangerang sendiri. Yang pertama adalah laksa khas Tangerang dan juga nasi jagal. Mendengar nama laksa mungkin tidak asing lagi di pikiran kita, tapi siapa yang sangka rasa dari makanan khas Tangerang ini tidak kalah enak dari laksa di kota lain.

Mendengar kata laksa, sepertinya tidak asing lagi di telinga kita. Karena memang makanan ini sudah terkenal sebelumnya menjadi makanan khas melayu. Tidak banyak perbedaan dari kedua makanan yang berasal dari daerah yang berbeda. Sama-sama berlemak menggunakan santan untuk kuahnya. Tapi, sebenarnya jika kita benar-benar ingin mengetahui apa perbedaan dari kedua makanan beda asal ini, kita harus mencobanya dan hasilnya kita akan menemukan perbedaan rasa dari kedua makanan ini.

Menyantap laksa rasanya kurang pas jika tidak tahu bagaimana sejarah laksa ini, dan apa perbedaan dengan laksa dari melayu. laksa ini adalah makanan khas peranakan masyarakat Tionghoa dan Melayu. Terdapat dua jenis laksa Tangerang, yang pertama adalah Laksa Nyai dan Laksa Nyonya. Laksa Nyai dibuat oleh kaum pribumi asli Tangerang, sedangkan Laksa Nyonya, dibuat oleh kaum peranakan Tionghoa di Tangerang. Sebenarnya, laksa kota Tangerang ini telah berkembang sejak ratusan tahun lalu, tapi sayangnya sampai saat ini belum ada yang membukukan sejarah lahirnya laksa di kota ini. Pada tahun 1970-an, laksa banyak dijajakan oleh pedagang sembari keliling kota Tangerang, namun seiring perkembangan zaman, laksa mulai tergeser dengan jenis makanan lain yang cepat dimasak, dan jauh lebih murah. Sehingga pada 20 tahun yang lalu, makanan khas Tangerang ini sempat hilang dari peredaran. Tepat setelah tahun 2000an, makanan ini mulau muncul kembali di banyak tempat, apalagi ternyata rasanya yang memang sudah punya tempat di hati masyarakat Tangerang, ditambah lagi dukungan pemerintah setempat yang mencoba mengembangkan kembali kuliner dan budaya khas Tangerang.

Berbeda dengan jenis laksa khas melayu yang biasanya menggunakan ikan untuk kuahnya, laksa Tangerang menggunakan kuah sayur bersantan yang ditambahkan kacang hijau, daun kucai, dan juga sambal serundeng (olahan kelapa parut). Warna kuahnya juga tidak terlalu kuning seperti kuah laksa betawi ataupun laksa melayu. Perbedaan lainnya adalah pada mie yang digunakan. Jika biasanya laksa hanya menggunakan mie biasa, laksa khas Tangerang ini menggunakan mie yang terbuat dari beras, jadi rasanya tidak terlalu lemas seperti mie pada umumnya, tapi juga tidak terlalu kaku. Ketika kita memesan satu porsi laksa khas Tangerang, tidak lengkap rasanya jika tidak ditambahkan ayam atau telur rebusnya. Bisa dilihat ayamnya tidak langsung direbus bersama dengan kuah laksanya, namun dibakar terlebih dahulu. Maka dari itu, rasa ayamnya lebih gurih  ditambah dengan serundeng yang sudah digabung di dalam kuahnya. Perpaduan ini membuat makanan laksa khas Tangerang terasa lebih  gurih dan nikmat. Komposisi kuah, isi, dan juga mie di dalam laksa tangerang inilah yang akhirnya membuat rasa laksa tangerang berbeda dengan laksa dari daerah lainnya. Laksa tangerang biasanya lebih terasa kasar, tapi juga lembut ketika berada di lidah kita. Kolaborasi antara kuah surendengnya dengan tekstur mie yang tidak halus membuat rasanya juga semakin gurih.

Tidak sulit untuk menemukan lokasi penjual laksa khas Tangerang ini. Di pasar lama, biasanya ada yang menjual di pagi hari. Tapi, kalau hari sudah mulai berganti siang, kita bisa datang langsung ke lokasi penjual makanan khas tangerang ini berkumpul. Tepatnya di jalan raya Moh. Yamin Tangerang (persis di depan LP perempuan). Di lokasi ini, kita bisa menemukan banyak penjual laksa khas Tangerang, hanya tinggal selera kita untuk memilih yang mana.

Ada satu lagi makanan khas Tangerang yang tidak begitu familiar di mata masyarakat awam. Lokasi penjualannya yang cukup jauh juga membuat makanan ini kurang begitu dilirik oleh masyarakat Tangerang di daerah selatan, maupun kabupaten. Nama dari makanan ini adalah nasi jagal. Kenapa dinamakan nasi jagal? Karena biasanya lokasi penjualan nasi ini selalu berada di depan tempat jagal hewan (sapi ataupun kambing). Aslinya bentuk makanan ini nasi yang disiram dengan kuah manis, namun sekarang ini banyak rumah makannya yang memperbarui menjadi nasi goring jagal, dengan bumbu dan rasa yang hampir sama dengan nasi jagal polos. Harganya tidak begitu mahal, karena memang isi dari kuahnya ini bukan hanya daging asli, tapi juga ada campuran bagian lain dari sapi, yang membuatnya semakin berlemak.


Komposisi dari nasi jagal ini adalah nasi putih, disiram dengan kuah nasi jagal yang rasanya mirip-mirip seperti abon sapi, tapi juga ada rasa seperti kuah semur (karena memang menggunakan kecap ketika memasaknya), lalu bagian-bagian sapi, dan tambahan bawang goreng serta kerupuk udang. Kurang pas rasanya jika makan nasi jagal tanpa sambal yang dibuat oleh si penjual. Justru seni makan nasi jagal ada di sambalnya. Sambalnya khas pedas, tanpa campuran tomat. Sambal ini juga bisa membuat rasa nasi jagal yang awalnya manis berubah menjadi sangat-sangat pedas. Untuk lokasi penjualannya, memang sedikit sulit untuk ditemui. Warung-warung yang berjejer ini bisa kita temukan di depan dinas peternakan kota Tangerang, kecamatan Bayur. Lokasinya tepat berada di belakang bandara Soekarno Hatta dan juga melewati pintu air 10 di belakang gedung Cisadane kota Tangerang.  

Wisata Tradisional kota Tangerang

Pemandangan gedung-gedung tinggi pencakar langit sepertinya sudah menjadi hal yang biasa dilihat oleh warga kota Tangerang. Seakan tidak mau kalah dengan ibu kota yang berlomba-lomba membangun gedung-gedung tinggi dan megah, Tangerang pun merasa perlu untuk membangun bangunan-bangunan itu. Mulai dari Tangerang selatan hingga Tangerang kota, tidak sedikitpun dalam jalan utama Saya menemukan bangunan tradisional yang masih dilestarikan. Seakan tidak rela untuk menyisakan sedikit saja fisik bangunan untuk menjadi sebuah sejarah untuk orang-orang di masa depan kelak.

Pagi itu, matahari sudah mulai terbit dan semakin lama semakin terik. Hari itu juga untuk pertama kalinya Saya akan berjalan-jalan ke daerah yang masih menyimpan bangunan tradisional di Tangerang, tempat yang Saya belum pernah tahu keberadaannya sebelumnya. Mengandalkan artikel-artikel yang Saya dapatkan dari Google, tujuan pertama yang saya datangi adalah pusat kota Tangerang tepatnya ke pasar lama. Memasuki kawasan pasar lama, sudah banyak pedagang yang menjejerkan dagangannya di pinggiran jalan. Entah itu makanan berat, makanan ringan, hingga minuman. Semua berbaris rapih seakan-akan mengantre untuk dicoba satu-persatu. Pandangan Saya tertuju pada sebuah gerobak bertuliskan ‘es podeng’ yang baru saja sampai di depan sebuah ruko. Ternyata ini toh es dari pasar lama yang banyak direview para food blogger dengan tanggapan positif itu. Pandangan saya kembali menebar ke seluruh sudut kawasan pasar lama, dan menemukan beberapa makanan untuk sarapan di sana.

Setelah puas sarapan dengan makanan-makanan yang ada di jalan raya pasar lama, Saya pun mulai kembali mencari-cari lewat gadget, wisata tradisional yang unik yang berada di sekitaran Tangerang.  Sebuah artikel yang membuat Saya tertarik dengan isinya, bermula dari sebuah penemuan gambar masjid yang lebih mirip dengan istana. Di situ tertulis, masjid ini kerap disebut sebagai masjid seribu pintu karena memang jumlah pintunya yang banyak mengitari bangunan tersebut. Penasaran dengan apa yang akan saya temukan di sana, Saya mengajak teman-teman sekaligus untuk berwisata ke sana untuk mematahkan persepsi bahwa kota Tangerang tidak punya bangunan tradisional untuk belajar sejarah.

Perjalanannya lumayan cukup panjang, tapi tidak begitu jauh. Itulah khas tata pembangunan kota di Tangerang. Melewati sebuah pintu air yang berada di belakang bandara soekarno hatta, hari itu saya pertama kalinya menginjakkan kaki di daerah Bayur. Begitu memasuki kawasan bayur, perjalanan jadi terasa begitu sepi. Hanya kendaraan yang lalu lalang melintasi jalan itu, dan jarang ada yang berhenti untuk mampir. Keadaannya sangat sepi, kanan kiri berdiri pabrik-pabrik yang luas sekali bangunannya dan dilanjutkan dengan hamparan-hamparan sawah yang telihat begitu kering karena mungkin belum saatnya panen. Sampai di tepi jalan, petunjuk jalan yang kami gunakan menunjukkan bahwa kami harus belok ke arah kiri, memasukki gang yang cukup sempit untuk menjadi sebuah gerbang lokasi wisata. Mungkin hal ini yang juga membuat sampai hari ini, wisata tradisional di kota Tangerang tidak begitu banyak diketahui oleh masyarakatnya, termasuk Saya. Matahari sudah cukup terik, seakan hanya berada 5 cm di atas kepala, mengakibatkan perjalanan harus dilanjutkan dengan tetap menggunakan kendaraan ke dalam lokasi wisata. Sepanjang perjalanan dari gerbang depan hingga ke dalam bangunan masjid seribu pintu, kami melihat suasana yang tenang dan tentram. Sebuah senyum, pasti kami dapatkan dari sekian banyak warga yang kami temui di sana. Warga di sana sangat ramah dan sangat peduli dengan orang lain, termasuk orang baru seperti kami. Beberapa dari mereka juga menunjukkan kami jalan menuju bangunan  masjid seribu pintu itu. Sesampainya kami di ujung jalan, sebuah gerbang dengan Tulisan bahasa arab sudah menyambut kami terlebih dahulu. Di dalamnya, ada beberapa rumah warga yang dibangun persis bersebelahan dengan bangunan tua itu, setidaknya keramaian itu membuat kami merasa tidak takut untuk melangkah lebih dekat ke sana.

Seorang kakek-kakek tua duduk di balik sebuah meja, dengan beberapa senter yang berada di atasnya.  Kakek itu sedang bercerita dengan pengunjung lainnya, bercerita tentang sejarah bangunan tua ini. Kakek ini adalah salah satu warga sekitar yang bekerja sebagai guide bagi wisatawan yang akan berkeliling di dalam banguanan ini. sebelumnya, kami harus membeli senter untuk dapat masuk ke dalam gedungnya, terlihat dari luar memang bangunan ini berisi lorong-lorong gelap tanpa pencahayaan dan lembab. Dimulai dari sebuah ruangan yang terlihat modern, diisi oleh beberapa barang-barang yang modern pula, kakek ini bercerita bahwa ruangan tersebut adalah hasil renovasi dari bangunana sebelumnya. Kami memasukki lorong-lorong ruangan lainnya, di sebelah kiri ada sebuah ruangan khusus untuk bertasbih, melakukan ibadah. Kakek ini juga bercerita bahwa bangunan ini dulunya adalah masjid yang dibangun oleh para pemuka agama tanpa menggunakan desain terlebih dahulu. Beberapa pintu di luar dan bangunan di dalam banyak menggambarkan angka ‘999’, tidak pernah diketahui apa arti sebenarnya Angka 999 itu. Namun, orang-orang di sekitar sana menyebutkan bahwa angka tersebut merupakan penggabungan jumlah asma Allah yang berjumlah 99 dan 9 wali songo. Memasuki bangunan ini, sebenarnya kita sedang melakukan wisata rohani, mengelilingi satu persatu lorong dengan ratusan pintu. Setiap lorong di dalam masjid ini memiliki petunjuk jalan masing-masing, dan dari salah satu ruang lorong itu akan membawa kita menuju ruang bawah tanah yang disebut ruang tasbih. Tidak banyak lampu di dalamnya, bahkan beberapa lorong memang seperti sengaja gelap dan lembab, membuat lorong-lorong yang sempit itu menjadi terasa dingin walaupun di siang hari yang panas. Bukan hanya dapat berkeliling di masjid ini, kita juga bisa melakukan ibadah di ruang-ruang tertentu. Tempatnya sangat sunyi dan tentram. Seakan kembali ke masa lalu, masa di mana bangunan masjid yang tak berkubah ini baru dibangun pertama kali, seakan bercerita bagaimana perjuangan ulama-ulama menyebarkan agama dengan memulai membangun masjid dengan biaya dari kantungnya sendiri.  

Dari perjalanan yang sangat mengesankan ini, Saya dapat menarik sebuah cara pandang baru untuk melihat tangerang. Ternyata, di balik bangunan-bangunan tinggi dan megah yang kota Tangerang miliki, ternyata masih terdapat juga bangunan-bangunan tradisional yang memang punya banyak sejarah di baliknya. Bukan hanya wisata rohani, namun juga wisata budaya. Tangerang memang kota yang benar-benar mewah dengan perbedaan. Tidak pernah ada sedikitpun cekcok walaupun ada berbagai etnis dan agama yang mendominasi di sini. Jika ada perayaan orang-orang cina benteng, masyarakat sekitar juga ikut terlibat dan ikut dalam kegiatan yang dilakukan, begitupun sebaliknya. Saya baru benar-benar jatuh hati dengan kota ini, kota yang nyaman, berbudaya, dan juga berakhlakul karimah. Tangerang bukan semata-mata kota yang bisa dipandang sebelah mata karena hanya tidak sama dengan kota Jakarta sebagai ibu kota ataupun kota lain yang terkenal akan wisatanya, tapi Tangerang adalah kota yang nyaman dan berbudaya yang pantas untuk dibanggakan dengan berjuta keberagaman di dalamnya.



Tangerang Jasa!




                                    Image and video hosting by TinyPic
Company Profile
Tangerang Jasa (TJ) adalah sebuah gerakan yang dibangun oleh sebuah komunitas. Saat ini, TJ sendiri bergerak di bidang pengembangan wisata seni budaya serta kuliner kota Tangerang. Tangerang jasa dibuat dengan tujuan untuk memberikan informasi secara menyeluruh kepada publik luas mengenai kota Tangerang, khususnya di bidang wisata dan kuliner. Penyebaran informasi tentang Tangerang diberikan dalam bentuk yang menarik, seperti newsletter, blog, serta video sebagai pendukung tulisan-tulisan di blog.
Selain bertujuan untuk memberikan informasi kepada publik, TJ juga bertujuan membantu pemerintah dalam bidang pemasukan anggaran daerah. Tujuan ini dicapai dengan cara mengkomunikasikan tentang kota Tangerang, hingga melakukan branding “kota wisata dan kuliner” untuk kota Tangerang itu sendiri.
TJ mulai dibentuk dari awal tahun 2015, dan kemudian berjalan dari pertengahan tahun 2015 hingga saat ini. Awalnya, TJ terbentuk berdasarkan ide dari sekelompok mahasiswa yang melihat peluang, bahwa daerah Tangerang punya daya jual di bidang wisata dan kuliner yang tinggi. Hingga saat ini, TJ telah menyebarkan newsletter dan juga artikel beserta video tentang Tangerang melalui blog yang dapat diakses dihttp://tangerang-jasa.tumblr.com .
Tagline
LIVE in Tangerang

Dan ini adalah proyek Ujian Akhir kami berupa video Newsrelease


Melestarikan Budaya Lewat Kesenian

Seni tidak harus selalu tinggi. Setidaknya itu adalah kalimat pertama yang muncul di benak ku tentang seni  yang menghiasi  tembok jalan di  kota Tangerang.  Menelusuri  jalan di  sekitaran Pasar Lama, pandangan mata terhenti pada sebuah gambar unik yang dibuat di atas sebuah tembok seukuran rumah dua tingkat. Lalu lalang yang padat dan juga kesumpekkan pasar lama di pasar lama nampaknya  bisa  dibayar  dengan  gambar  super  besar  ini.  Di dalam gambar tersebut  ada seorang pria  yang  sedang  melompat  ke sungai Cisadane.  
 Photo By Aniq Tasia

Sungai  Cisadane dilambangkan dengan warna biru cerah, dengan background gambar tersebut juga berwarna biru. Seakan memang dipasang untuk memberi sebuah kejutan di balik padat dan macetnya kawasan Pasar Lama. Aku memandangi gambar itu mulai dari satu persatu lekukan, dan seperti terbawa suasana  mengingat  lompatan  demi  lompatan  dari  pinggiran  sungai Cisadane. Melompat  dan tertawa mengikuti suara  hati,  anak-anak polos  yang tak  pernah takut  untuk melompat.  Entah berapa meter dalamnya sungai  ini, yang pasti melompat dan berenang disungai Cisadane siang hari memang asik.
Photo By Aniq Tasia

Seni yang sebelumnya selalu kukira berada di dalam sebuah gedung dan bersekat-sekat tinggi sesuai selera, ternyata dapat dinikmati oleh publik yang luas. Tidak peduli apakah dia sekolah ataupun tidak, tidak peduli apakah dia mengerti seni ataupun tidak. Sangat indah sekali, seperti bermain drama di atas sebuah gambar yang besar itu. Mengikuti aliran sungai Cisadane yangselalu mengalir tenang, bersama dengan warga pinggiran sungai Cisadane, ditambah lagi jika sedang  berlangsung  perayaan-perayaan  yang  memang  dirayakan  di atas  sungai  ini.

Seperti perayaan Peh Tjun, yang digambarkan di tembok sebelahnya. Berwarna merah dan memiliki keruncingan  di  ujungnya  masing-masing.  Sebuah gambar  perahu,  yang  sebenarnya  aku pun belum  pernah  merasakan bagaimana  menaikki  perahu  itu,  tapi  tiba-tiba  saja  terbayang  dipikiranku orang-orang  ramai  berada  di  pertengahan  sungai  sedang  berlomba mengayuh dayungnya,  berlomba untuk berjalan paling depan. Dari  kawasan pasar lama ini  aku belajar banyak sekali tentang Tangerang, khususnya tentang budaya seni yang ada di kota ini.

Photo By Aniq Tasia
Tidak puas dengan gambar yang bercerita satu kisah saja, aku melangkahkan kakiku ke daerah atau lokasi graffiti dan mural yang berada di dekat perapatan sinta. Sepanjang perjalanan yang berisi tembok itu penuh sekali dengan gambar-gambar para seniman tangerang. Karya seni disini lebih beragam lagi, banyak dari mereka (bomber) yang menggambarkan dan menuliskan sebuah tulisan berbentuk kritik pada pemerintah. Mereka benar-benar memanfaatkan tembok untuk sesuatu yang sangat berguna, untuk membela dan memperjuangkan hak-hak sebagai rakyat. Sepertinya, komunitas seni yang menggambarkan objek ini paham betul dengan permasalahan yang dialami oleh kota Tangerang, sehingga pesan-pesan yang ada di tembok itu juga sangat spesifik dan berani. 
Kebudayaan dan juga politik sudah dapat dirangkum di atas sebuah dinding yang luas. Pekerja seni yang membuat gambar tersebut benar-benar berpengetahuan luas dan juga tidak sempit, mereka memandang bahwa seni bukan lagi semata-mata harus selalu tinggi, karena memang dasarnya seni bisa memiliki arti, tergantung dari persepsi masing-masing orang. Seni bukan lagi semata-mata bicara mengenai luas kanvas yang terbatas, tapi bagaimana menggunakan tembok yang besar sebagai medium untuk berkomunikasi dan bercerita bahwa Tangerang adalah sebuah kota dengan sejuta cerita dan Tangerang adalah sebuah kota dengan sejuta kenangan yang dapat membuat kita candu untuk datang kembali.