Minggu, 20 November 2016

Ekspektasi yang Lahir dari Sepasang Mata

Manusia senang untuk membangun ekspektasi pada manusia lainnya.
Seperti membangun tangga yang perlahan-lahan menuntunnya untuk mencapai puncak impian.
Terbangun dari kata, dari suara di ujung sana, yang terdengar bersahabat.

Malam-malam itu Saya lalui untuk membangun sendiri tangga ekspektasi Saya.
Namun Saya selalu kembali bertanya, apa Saya sedang membangun tangga atau tembok?
Karena semakin jauh Saya berekspektasi, rasanya semakin tinggi pula tembok di depan mata Saya.

Malam-malam itu Saya lalui juga untuk membingkai ucapan demi ucapan, berharap kelak suatu hari nanti bisa Saya buka kembali untuk melihat betapa manisnya ekspektasi Saya di masa lalu yang menuntun Saya di kemudian hari.
Tapi tembok semakin tinggi, mengusir Saya sendiri menjauh dari sana.
Ditendang dan dihancurkan. Hingga ekspektasi Saya hancur lebur bersatu dengan tanah yang Saya pijak.

Saya pun tak cukup lihai untuk membangun kembali, karena ekspektasi Saya justru menghancurkan dirinya sendiri tanpa komando.
Hari berikutnya Saya mencoba untuk berekspektasi pada diri sendiri, membangun sebuah tangga yang bisa Saya lalui untuk mencapai apa yang Saya inginkan dalam hidup Saya tanpa perlu menyapa ekspektasi Saya yang telah luluh lantah.
Meski puing-puingnya tetap merayu, memanggil seakan Ia masih bisa dirakit kembali bagai puzzle yang berantakan dan siap dirapikan kembali.

Tapi kadang juga impian bisa datang dengan sendirinya tanpa kita berekspektasi terlebih dahulu.
Ia datang dengan sendirinya, di sebuah senja dengan senyumannya yang manis dan tatapan matanya yang syahdu.
Ia datang membawa sebuah gambar yang menunjukkan bagaimana hubungannya ekspektasi dengan tangga.
Tanpa pernah menyebut dimana Ia akan berada selama Saya membangun kembali ekspektasi Saya.

Matanya teduh, melambai di balik kokohnya ekspektasi yang telah Saya buat untuk diri Saya sendiri. Tapi juga tidak pernah memberi izin gambarnya dapat digunakan untuk membangun ekspektasi Saya.
Kemudian, Saya luluh kembali. Saya jatuh dari tangga, dari ekspektasi Saya kepada diri Saya sendiri. Mengemis kembali untuk membangun tangga baru, dan diam-diam berharap dia menunggu di ujung harapan Saya. Untuk berjalan berdua menuju harapan-harapan yang baru.
Nyatanya tidak, bius ekspektasi dari sepasang mata hanya canda semata. Untuk membuat kaki Saya goyah dan terjatuh.

Jika itu pertanyaannya, maka jawabannya “YA”. Saya terjatuh.