Manusia senang untuk membangun ekspektasi pada
manusia lainnya.
Seperti membangun tangga yang perlahan-lahan
menuntunnya untuk mencapai puncak impian.
Terbangun dari kata, dari suara di ujung sana, yang
terdengar bersahabat.
Malam-malam itu Saya lalui untuk membangun sendiri
tangga ekspektasi Saya.
Namun Saya selalu kembali bertanya, apa Saya sedang
membangun tangga atau tembok?
Karena semakin jauh Saya berekspektasi, rasanya
semakin tinggi pula tembok di depan mata Saya.
Malam-malam itu Saya lalui juga untuk membingkai
ucapan demi ucapan, berharap kelak suatu hari nanti bisa Saya buka kembali
untuk melihat betapa manisnya ekspektasi Saya di masa lalu yang menuntun Saya
di kemudian hari.
Tapi tembok semakin tinggi, mengusir Saya sendiri
menjauh dari sana.
Ditendang dan dihancurkan. Hingga ekspektasi Saya
hancur lebur bersatu dengan tanah yang Saya pijak.
Saya pun tak cukup lihai untuk membangun kembali,
karena ekspektasi Saya justru menghancurkan dirinya sendiri tanpa komando.
Hari berikutnya Saya mencoba untuk berekspektasi
pada diri sendiri, membangun sebuah tangga yang bisa Saya lalui untuk mencapai
apa yang Saya inginkan dalam hidup Saya tanpa perlu menyapa ekspektasi Saya
yang telah luluh lantah.
Meski puing-puingnya tetap merayu, memanggil seakan Ia
masih bisa dirakit kembali bagai puzzle yang berantakan dan siap dirapikan
kembali.
Tapi kadang juga impian bisa datang dengan sendirinya
tanpa kita berekspektasi terlebih dahulu.
Ia datang dengan sendirinya, di sebuah senja dengan
senyumannya yang manis dan tatapan matanya yang syahdu.
Ia datang membawa sebuah gambar yang menunjukkan
bagaimana hubungannya ekspektasi dengan tangga.
Tanpa pernah menyebut dimana Ia akan berada selama
Saya membangun kembali ekspektasi Saya.
Matanya teduh, melambai di balik kokohnya ekspektasi
yang telah Saya buat untuk diri Saya sendiri. Tapi juga tidak pernah memberi
izin gambarnya dapat digunakan untuk membangun ekspektasi Saya.
Kemudian, Saya luluh kembali. Saya jatuh dari
tangga, dari ekspektasi Saya kepada diri Saya sendiri. Mengemis kembali untuk
membangun tangga baru, dan diam-diam berharap dia menunggu di ujung harapan Saya.
Untuk berjalan berdua menuju harapan-harapan yang baru.
Nyatanya tidak, bius ekspektasi dari sepasang mata
hanya canda semata. Untuk membuat kaki Saya goyah dan terjatuh.
Jika itu pertanyaannya, maka jawabannya “YA”. Saya terjatuh.