Senin, 09 Juli 2018

Akhirnya,

Akhirnya,
semua yang pernah berjalan akan beristirahat, melabuhkan tubuhnya pada rumah-rumah yang kokoh
sebab jalanan panas, kadang hujan, kadang juga terlalu dingin berangin-angin

Jika perjalanan seseorang tidak berhenti pada apa yang kau sebut rumah,
maka biarkan dia pergi
mencari rumah-rumah yang lain.

Jakarta, 9 Juli 2018
Selamat berbahagia, selamat berbahagia jiwa! 

Senin, 05 Februari 2018

Saya.

Saya melihat burung-burung yang beterbangan di atas kepala Saya.
Mereka terbang ke mana-mana, bergerak bebas seperti balerina yang sedang menari.
Mereka hinggap dari satu ranting ke ranting lainnya yang belum pernah mereka sentuh sebelumnya

Sedang Saya di sini berdiri di atas tanah yang dilapisi rumput bekas diinjak-injak dan kemudian mengering tidak terawat. Hujan pun tak mau datang, kemarau panjang. Saya berdiri di atas tanah dan juga rumput yang kering. Di atas tanah dan rumput yang terlupakan, bahkan oleh semesta.

Tapi, di setiap kaki-kaki burung yang terbang bebas itu telah diikatkan puluhan tali untuk kembali menarik mereka agar tak melewati batas langit. Mereka membawa rindu pada setiap kepakkan sayap. Mereka mengenal rumah, tempat untuk kembali sebaik-baiknya di kala hati mereka ingin pulang. Mereka mengenal rumah di dalam kepala mereka, untuk berteduh di kala hujan dan gemuruh menyerang. 

Saya telanjang. Tak sehelai benangpun Saya kenakan untuk dapat mengingat dingin atau panas yang tubuh Saya rasakan. 
Saya tidak mengenal pulang dan pergi. 
Saya tidak mengingatnya.

Satu yang Saya ingat adalah tubuh yang terus bergerak mengejar kebahagiaan.
Bahagia yang tidak pernah selesai Saya definiskan. 
Saya belum mau pulang, 
Saya belum merindu, 
Saya berjalan, tidak berterbangan.
Kelak, akan Saya panjati ranting-ranting itu.
Kelak juga akan Saya hancurkan rumput-rumput beserta tanah yang tandus itu.

Dan Saya akan terus berjalan, menari, dan tenggelam
Hingga bertemu pulang yang menghadirkan hujan sekaligus kekeringan.

Senin, 5 Feb 2018
Di ruangan yang dingin. 

Minggu, 20 November 2016

Ekspektasi yang Lahir dari Sepasang Mata

Manusia senang untuk membangun ekspektasi pada manusia lainnya.
Seperti membangun tangga yang perlahan-lahan menuntunnya untuk mencapai puncak impian.
Terbangun dari kata, dari suara di ujung sana, yang terdengar bersahabat.

Malam-malam itu Saya lalui untuk membangun sendiri tangga ekspektasi Saya.
Namun Saya selalu kembali bertanya, apa Saya sedang membangun tangga atau tembok?
Karena semakin jauh Saya berekspektasi, rasanya semakin tinggi pula tembok di depan mata Saya.

Malam-malam itu Saya lalui juga untuk membingkai ucapan demi ucapan, berharap kelak suatu hari nanti bisa Saya buka kembali untuk melihat betapa manisnya ekspektasi Saya di masa lalu yang menuntun Saya di kemudian hari.
Tapi tembok semakin tinggi, mengusir Saya sendiri menjauh dari sana.
Ditendang dan dihancurkan. Hingga ekspektasi Saya hancur lebur bersatu dengan tanah yang Saya pijak.

Saya pun tak cukup lihai untuk membangun kembali, karena ekspektasi Saya justru menghancurkan dirinya sendiri tanpa komando.
Hari berikutnya Saya mencoba untuk berekspektasi pada diri sendiri, membangun sebuah tangga yang bisa Saya lalui untuk mencapai apa yang Saya inginkan dalam hidup Saya tanpa perlu menyapa ekspektasi Saya yang telah luluh lantah.
Meski puing-puingnya tetap merayu, memanggil seakan Ia masih bisa dirakit kembali bagai puzzle yang berantakan dan siap dirapikan kembali.

Tapi kadang juga impian bisa datang dengan sendirinya tanpa kita berekspektasi terlebih dahulu.
Ia datang dengan sendirinya, di sebuah senja dengan senyumannya yang manis dan tatapan matanya yang syahdu.
Ia datang membawa sebuah gambar yang menunjukkan bagaimana hubungannya ekspektasi dengan tangga.
Tanpa pernah menyebut dimana Ia akan berada selama Saya membangun kembali ekspektasi Saya.

Matanya teduh, melambai di balik kokohnya ekspektasi yang telah Saya buat untuk diri Saya sendiri. Tapi juga tidak pernah memberi izin gambarnya dapat digunakan untuk membangun ekspektasi Saya.
Kemudian, Saya luluh kembali. Saya jatuh dari tangga, dari ekspektasi Saya kepada diri Saya sendiri. Mengemis kembali untuk membangun tangga baru, dan diam-diam berharap dia menunggu di ujung harapan Saya. Untuk berjalan berdua menuju harapan-harapan yang baru.
Nyatanya tidak, bius ekspektasi dari sepasang mata hanya canda semata. Untuk membuat kaki Saya goyah dan terjatuh.

Jika itu pertanyaannya, maka jawabannya “YA”. Saya terjatuh. 

Minggu, 04 September 2016

Hidup dan Mati



Hidup dan kematian hanya dibatasi oleh suatu tangisan.
Disambut dan dilepas dengan tangis.
Kadang tangisan pun terlalu abstrak untuk digambarkan sebagai simbol kepedihan atau kebahagiaan.
Toh keduanya bisa saja terjadi bersamaan.
Terbentuk oleh pikiran kita yang mengaburkan batasan antara keduanya.

Begitu juga mati.
Apa benar kelahiran adalah penanda kita hidup.
Atau kematian adalah penanda kita selesai untuk hidup.
Atau justru kematian adalah awal dari kehidupan yang sesungguhnya.
Batasnya semakin kabur.
Yang Saya tahu, kita semakin takut untuk menujunya.
Takut untuk meninggalkan kita yang ada di muka bumi.

Kehidupan setelah kematian semakin kabur dan berkabut.
Oleh manusia-manusia yang percaya, hidup adalah mengenai menginjak tanah di bumi.
Kemudian dibuat kabur dan buram oleh orang yang menganggap ada kehidupan.
Berlari menuju kematian sebelum tiba saatnya nama yang dipanggil.

Kelahiran dan kematian hanyalah sebuah kata.
Yang bermakna pada setiap kepala yang memaknainya.
Kelahiran dan kematian hanyalah sepasang kata mengawali dan mengakhiri.
Bagi kita yang terlalu naïf.
Karena hidup ternyata lebih rumit dari pada itu.


Sabtu, 03 September 2016

Jul dan Doa Seorang Penyintas

Seorang anak Perempuan lari tergopoh-gopoh ke salah satu ruangan yang berada di ujung koridor. Suasana nampak sepi tak berpenghuni, sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci yang diucapkan berhati-hati. Ruangan tersebut gelap dan hanya beberapa guru yang sedang bercakap-cakap di sana, sembari menikmati sarapan mereka. Sesekali suara mesin mobil menyala, pertanda beberapa jemputan anak-anak SD tersebut kembali pulang ke mana mereka seharusnya. Karena ternyata peraturan sekolah tidak membolehkan mereka masuk dan berlama-lama di sekolah. Anak-anak harus mandiri bersama guru, ujar mereka.

Jantung Juli berdegup kencang, Ia masih tidak percaya apa yang dilakukannya sampai sejauh ini. Biasanya berlindung di balik meja sudahlah cukup baginya, diam tidak bersuara yang penting hari tersebut akan segera berlalu baginya. Kali ini, Ia mengambil langkah yang jauh dari biasanya. Ia lari ke ruangan guru untuk mengucap sepatah dua patah kata apa yang ada di dalam pikirannya, berharap Ia bisa menjadi orang yang cukup dewasa untuk dapat berucap secara jelas. Jul hanyalah murid kelas 4 SD, bahkan Ia tidak tahu menahu saat itu apa yang dialaminya salah ataupun benar.

Baginya, melangkahkan kaki keluar dari meja adalah hal yang baru dan penuh keberanian, terlebih Ia memiliki tujuan yang sangat besar. Tujuan untuk mengungkapkan apa yang baru dialaminya, dan ini bukan yang pertama kali dalam hidupnya. Tapi ketika sudah berdiri di depan ruangan guru, Ia hanya bisa berdiri dan terdiam. Mulutnya ingin bercerita namun kakinya beku bak ditimpa semen basah yang kemudian mengering. Jul menangis, bukan hanya karena perlakuan yang Ia dapatkan di dalam kelas. Namun juga karena Ia tidak dapat bersuara ketika seharusnya Ia dapat bersuara.

Jul sempat berpikiran bahwa apa yang Ia alami di hari-hari itu adalah karena bentuk tubuhnya sendiri. Ia harus mendapat perlakuan berbeda dari salah seorang kawannya, yang sepertinya memiliki kesalahan dalam otaknya. Jul takut diberikan stigma dari lingkungannya atas apa yang terjadi padanya, Ia takut dihujat Ia takut diberikan stempel ‘anak nakal’ karena Ia telah menanggung semua perlakuan kawannya, sampai anak sekecil Jul harus dapat berpikir keras sejauh apa salahnya pada dunia. Toh dia tidak pernah berbuat apa-apa. Kini setelah Ia berumur 25 tahun barulah Ia tahu bahwa apa yang dialaminya bukanlah setitikpun kesalahannya. Ia menjadi korban tindak kekerasan seksual dari kawannya yang memiliki relasi kuasa. Anak laki-laki itu adalah seorang ‘jagoan’ di kelas tersebut. Ini yang menyebabkan tidak ada satupun siswa yang berani melawannya. Termasuk kawan-kawan di dalam lingkarannya.

Kini Jul mencoba berdiri di atas sebelah kakinya, mencoba agar tetap seimbang meski Ia tahu kaki sebelahnya tidak pernah Ia latih untuk berlari. Ia tumbuh berdasarkan logika, dan mencoba mematikan hatinya karena Ia terlalu takut untuk ditikam kembali.
###

Kisah tersebut bercerita tentang pengalaman nyata seorang penyintas yang mengalami kekerasan seksual ketika Ia masih kecil. Tidak banyak yang terlalu konsen dengan permasalahan ini. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja. Bahkan terjadi pada anak-anak, sampai dewasa. Kisah Juli bisa saja terjadi pada kita, anak kita kelak, ponakan kita, adik kita, atau orang-orang terdekat kita.

Seorang korban kekerasan seksual cenderung menutup mulut serapat-rapatnya karena takut dianggap menjadi aib keluarga dan takut dianggap menjadi manusia yang tidak berguna. Ini terjadi pada anak-anak dan juga orang dewasa. Ketika kekerasan seksual datang, Ia khas. Ia bicara mengenai pengalaman ketubuhan seseorang. Bahkan jiwa dan raganya  bisa menjadi mati karena itu. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, kejahatan kriminal karena ada niatan untuk merusak diri orang lain. Menurut Saya, ini tidak dapat dianggap sepele dan menjadikan kasus kekerasan seksual semata-mata sebagai persoalan moralitas saja.

Banyak Juli yang lain di dunia ini. Mereka diam dalam kesunyian, tidak jarang mereka berdiri hanya di sebelah kakinya sedangkan kaki yang lainnya lumpuh. Terseok-seok menjalani tuntutan hidup, berada di ambang hidup dan mati. Karena hidup terlalu berat dan mati belum tentu menjadi jawaban dari semua pertanyaan. Apa mati benar-benar dapat menghabiskan semua ingatan, keperihan, dan juga keputusasaan?

Juli adalah Saya, Juli adalah kamu yang teriris saat membaca kisahnya. Juli adalah kita. Saya rasa Saya dapat mengaminkan doa bahwa kelak akan ada keadilan yang nyata untuk penyintas-penyintas seperti Jul. 

Jadilah cahaya dan jangan memberikan beban pada Jul. Karena bagaimanapun juga, Jul dan seluruh manusia di bumi ini berhak untuk bahagia.

-3 September 2016-

Untuk Jul, aku, dan manusia. 

Minggu, 21 Agustus 2016

Manusia yang Berdiri di Persimpangan Jalan

Putih terlalu terang dan hitam terlalu gelap, hari ini Saya berdiri pada persimpangan jalan. Untuk mengucap halo pada seseorang dan mengucap selamat tinggal ketika Ia mulai kembali pada kehidupannya.

Tapi kemudian Saya sadar, hidup bukan hanya mengenai orang lain. Tapi bagaimana Saya sendiri merasa senang. Mungkin saja saat ini Saya sedang berada pada persimpangan jalan orang lain. Mencoba untuk tetap tinggal, dan nyatanya diam-diam Saya beranjak pergi meninggalkan orang tersebut.

Saya belum bisa memilih apakah kanan adalah selalu hal yang baik atau kiri adalah selalu hal yang buruk, seperti saat kecil kita diajarkan bagaimana tangan yang bagus untuk makan. Setahu Saya itu hanya konstruksi. Saya juga tidak tahu apakah putih selalu terang dan hitam selalu gelap seperti yang Saya sebutkan sebelumnya.

Saya bimbang. Tapi yang Saya tahu, Saya sedang jatuh cinta pada diri Saya sendiri. Pada sesuatu yang telah lama terpendam di diri Saya. Kebebasan. Beberapa tahun terakhir, Saya mencoba mencari sendiri apa artinya kebebasan dan pada hari ini Saya puas dengan kebebasan yang Saya definisikan itu sendiri. Menulis dengan liar, bercengkrama dengan jiwa dan pikiran Saya sendiri, berbicara pada seseorang yang mencintai Saya sejak Saya lahir.

Akhirnya, Saya tuliskan tulisan ini untuk siapapun yang mencari di mana Saya berada. Saya masih di sini, di persimpangan jalan kalian. Semoga kalian berkenan tetap dan menjadi kawan Saya dalam pikiran Saya, seperti halnya dua arah yang kemudian akan kembali meski menapak pada jalannya masing-masing, seperti seseorang yang merindukan rumahnya sehingga Ia tahu ke mana harus pulang. 

Sabtu, 09 Juli 2016

How to Be Single in Real Life.


-How to be single-. 

Film ini menceritakan tentang beberapa perempuan dan seorang laki-laki yang kehidupannya berada pada masa-masa sendiri mereka. Ada yang memilih sendiri karena harus menjauh dari pacarnya, ada yang memang lebih senang dengan kesendirian (dan lebih senang dengan kehidupan one night stand), ada yang memilih sendiri karena mencari pasangan terbaik, dan yang memilih sendiri karena (sepertinya) Ia cukup merasa sulit berada dalam komitmen hubungan.

Beberapa hal yang bisa dipetik dari film ini, dan sedikit membuat saya tersenyum adalah banyak orang berusaha sekuat tenaga untuk menjadi bahagia dalam kesendiriannya. Tapi apa? Mereka menggunakan cara orang lain, yang akhirnya adalah membuat mereka sendiri bingung dengan posisi mereka. Dalam keadaan saya saat ini (yang akhirnya) memilih untuk sendiri, film ini cukup berpengaruh pada diri saya karena saya merasa mungkin dengan cara-cara seperti itu saya bisa bahagia (mengenal lelaki lain, mengenal dunia yang benar-benar menghibur, mengenal apa yang saya sama sekali belum pernah temui sampai saat ini). Tapi, sesungguhnya kebahagiaan itu ada pada diri saya sendiri. Ketika saya mengikuti apa yang saya mau, saya merasa menjadi manusia bebas. Dengan dukungan dari (terutama) orang tua saya mengenai pilihan-pilihan hidup saya, saya rasa ini semua sudah cukup untuk membuat saya bahagia.

Saya belum ke mana-mana. Sama seperti orang-orang yang memilih sendiri lainnya. Saya masih di sini dengan tentunya hati dan pikiran yang baru. Jika kemarin saya banyak memikirkan tuntutan pernikahan, hari ini saya merasa bebas. Saya tidak perlu memahami orang lain untuk membuat saya bahagia. Toh saya bisa berdiri dan merdeka di atas diri saya sendiri. Mungkin, hanya belum waktunya saya untuk mengenal orang lagi.

Kebebasan, seperti yang dijelaskan dalam film ‘how to be single’ ini menurut saya cukup abstrak, karena sejauh-jauhnya kita melangkah dan semakin kita mencari kebebasan, sesungguhnya kita masih mengikat tuntutan di punggung kita. Entah memang tuntutan atau keinginan untuk tidak sendiri. Kadang, ketika kita sudah memilih untuk sendiri, ada banyak orang yang membuat kita yakin bahwa sendiri bukanlah pilihan yang baik, seakan kita harus hidup dengan bantuan orang lain.

Pada akhirnya, seperti yang terjadi hari ini. Saya berusaha untuk memulai pelan-pelan menghapus keinginan itu dan berusaha membuat jawaban untuk tuntutan yang diberikan pada saya. Kebebasan menurut saya pada akhirnya ada pada batasan-batasan diri sendiri, sejauh mana ia melangkah dan dimana letak garis penjaga yang selama ini dipasang. Kalau saya, garis itu sudah entah ke mana adanya. Maka saya harus berlari, meninggalkan garis awal, dan mengejar garis-garis kebebasan itu. Meskipun sampai hari ini saya tidak tahu seberapa jauh lagi saya harus berlari mengejar garis itu.
Saya bimbang, tapi hari ini saya tahu bahwa saya bebas.