Minggu, 19 Juli 2015

Wisata Tradisional kota Tangerang

Pemandangan gedung-gedung tinggi pencakar langit sepertinya sudah menjadi hal yang biasa dilihat oleh warga kota Tangerang. Seakan tidak mau kalah dengan ibu kota yang berlomba-lomba membangun gedung-gedung tinggi dan megah, Tangerang pun merasa perlu untuk membangun bangunan-bangunan itu. Mulai dari Tangerang selatan hingga Tangerang kota, tidak sedikitpun dalam jalan utama Saya menemukan bangunan tradisional yang masih dilestarikan. Seakan tidak rela untuk menyisakan sedikit saja fisik bangunan untuk menjadi sebuah sejarah untuk orang-orang di masa depan kelak.

Pagi itu, matahari sudah mulai terbit dan semakin lama semakin terik. Hari itu juga untuk pertama kalinya Saya akan berjalan-jalan ke daerah yang masih menyimpan bangunan tradisional di Tangerang, tempat yang Saya belum pernah tahu keberadaannya sebelumnya. Mengandalkan artikel-artikel yang Saya dapatkan dari Google, tujuan pertama yang saya datangi adalah pusat kota Tangerang tepatnya ke pasar lama. Memasuki kawasan pasar lama, sudah banyak pedagang yang menjejerkan dagangannya di pinggiran jalan. Entah itu makanan berat, makanan ringan, hingga minuman. Semua berbaris rapih seakan-akan mengantre untuk dicoba satu-persatu. Pandangan Saya tertuju pada sebuah gerobak bertuliskan ‘es podeng’ yang baru saja sampai di depan sebuah ruko. Ternyata ini toh es dari pasar lama yang banyak direview para food blogger dengan tanggapan positif itu. Pandangan saya kembali menebar ke seluruh sudut kawasan pasar lama, dan menemukan beberapa makanan untuk sarapan di sana.

Setelah puas sarapan dengan makanan-makanan yang ada di jalan raya pasar lama, Saya pun mulai kembali mencari-cari lewat gadget, wisata tradisional yang unik yang berada di sekitaran Tangerang.  Sebuah artikel yang membuat Saya tertarik dengan isinya, bermula dari sebuah penemuan gambar masjid yang lebih mirip dengan istana. Di situ tertulis, masjid ini kerap disebut sebagai masjid seribu pintu karena memang jumlah pintunya yang banyak mengitari bangunan tersebut. Penasaran dengan apa yang akan saya temukan di sana, Saya mengajak teman-teman sekaligus untuk berwisata ke sana untuk mematahkan persepsi bahwa kota Tangerang tidak punya bangunan tradisional untuk belajar sejarah.

Perjalanannya lumayan cukup panjang, tapi tidak begitu jauh. Itulah khas tata pembangunan kota di Tangerang. Melewati sebuah pintu air yang berada di belakang bandara soekarno hatta, hari itu saya pertama kalinya menginjakkan kaki di daerah Bayur. Begitu memasuki kawasan bayur, perjalanan jadi terasa begitu sepi. Hanya kendaraan yang lalu lalang melintasi jalan itu, dan jarang ada yang berhenti untuk mampir. Keadaannya sangat sepi, kanan kiri berdiri pabrik-pabrik yang luas sekali bangunannya dan dilanjutkan dengan hamparan-hamparan sawah yang telihat begitu kering karena mungkin belum saatnya panen. Sampai di tepi jalan, petunjuk jalan yang kami gunakan menunjukkan bahwa kami harus belok ke arah kiri, memasukki gang yang cukup sempit untuk menjadi sebuah gerbang lokasi wisata. Mungkin hal ini yang juga membuat sampai hari ini, wisata tradisional di kota Tangerang tidak begitu banyak diketahui oleh masyarakatnya, termasuk Saya. Matahari sudah cukup terik, seakan hanya berada 5 cm di atas kepala, mengakibatkan perjalanan harus dilanjutkan dengan tetap menggunakan kendaraan ke dalam lokasi wisata. Sepanjang perjalanan dari gerbang depan hingga ke dalam bangunan masjid seribu pintu, kami melihat suasana yang tenang dan tentram. Sebuah senyum, pasti kami dapatkan dari sekian banyak warga yang kami temui di sana. Warga di sana sangat ramah dan sangat peduli dengan orang lain, termasuk orang baru seperti kami. Beberapa dari mereka juga menunjukkan kami jalan menuju bangunan  masjid seribu pintu itu. Sesampainya kami di ujung jalan, sebuah gerbang dengan Tulisan bahasa arab sudah menyambut kami terlebih dahulu. Di dalamnya, ada beberapa rumah warga yang dibangun persis bersebelahan dengan bangunan tua itu, setidaknya keramaian itu membuat kami merasa tidak takut untuk melangkah lebih dekat ke sana.

Seorang kakek-kakek tua duduk di balik sebuah meja, dengan beberapa senter yang berada di atasnya.  Kakek itu sedang bercerita dengan pengunjung lainnya, bercerita tentang sejarah bangunan tua ini. Kakek ini adalah salah satu warga sekitar yang bekerja sebagai guide bagi wisatawan yang akan berkeliling di dalam banguanan ini. sebelumnya, kami harus membeli senter untuk dapat masuk ke dalam gedungnya, terlihat dari luar memang bangunan ini berisi lorong-lorong gelap tanpa pencahayaan dan lembab. Dimulai dari sebuah ruangan yang terlihat modern, diisi oleh beberapa barang-barang yang modern pula, kakek ini bercerita bahwa ruangan tersebut adalah hasil renovasi dari bangunana sebelumnya. Kami memasukki lorong-lorong ruangan lainnya, di sebelah kiri ada sebuah ruangan khusus untuk bertasbih, melakukan ibadah. Kakek ini juga bercerita bahwa bangunan ini dulunya adalah masjid yang dibangun oleh para pemuka agama tanpa menggunakan desain terlebih dahulu. Beberapa pintu di luar dan bangunan di dalam banyak menggambarkan angka ‘999’, tidak pernah diketahui apa arti sebenarnya Angka 999 itu. Namun, orang-orang di sekitar sana menyebutkan bahwa angka tersebut merupakan penggabungan jumlah asma Allah yang berjumlah 99 dan 9 wali songo. Memasuki bangunan ini, sebenarnya kita sedang melakukan wisata rohani, mengelilingi satu persatu lorong dengan ratusan pintu. Setiap lorong di dalam masjid ini memiliki petunjuk jalan masing-masing, dan dari salah satu ruang lorong itu akan membawa kita menuju ruang bawah tanah yang disebut ruang tasbih. Tidak banyak lampu di dalamnya, bahkan beberapa lorong memang seperti sengaja gelap dan lembab, membuat lorong-lorong yang sempit itu menjadi terasa dingin walaupun di siang hari yang panas. Bukan hanya dapat berkeliling di masjid ini, kita juga bisa melakukan ibadah di ruang-ruang tertentu. Tempatnya sangat sunyi dan tentram. Seakan kembali ke masa lalu, masa di mana bangunan masjid yang tak berkubah ini baru dibangun pertama kali, seakan bercerita bagaimana perjuangan ulama-ulama menyebarkan agama dengan memulai membangun masjid dengan biaya dari kantungnya sendiri.  

Dari perjalanan yang sangat mengesankan ini, Saya dapat menarik sebuah cara pandang baru untuk melihat tangerang. Ternyata, di balik bangunan-bangunan tinggi dan megah yang kota Tangerang miliki, ternyata masih terdapat juga bangunan-bangunan tradisional yang memang punya banyak sejarah di baliknya. Bukan hanya wisata rohani, namun juga wisata budaya. Tangerang memang kota yang benar-benar mewah dengan perbedaan. Tidak pernah ada sedikitpun cekcok walaupun ada berbagai etnis dan agama yang mendominasi di sini. Jika ada perayaan orang-orang cina benteng, masyarakat sekitar juga ikut terlibat dan ikut dalam kegiatan yang dilakukan, begitupun sebaliknya. Saya baru benar-benar jatuh hati dengan kota ini, kota yang nyaman, berbudaya, dan juga berakhlakul karimah. Tangerang bukan semata-mata kota yang bisa dipandang sebelah mata karena hanya tidak sama dengan kota Jakarta sebagai ibu kota ataupun kota lain yang terkenal akan wisatanya, tapi Tangerang adalah kota yang nyaman dan berbudaya yang pantas untuk dibanggakan dengan berjuta keberagaman di dalamnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar