SEPI itu ketika
setiap detakkan jam dinding dapat kudengar dengan jelas. Sepi itu sebuah hampa
yang tidak dapat aku tembus dengan kesendirian. Sepi itu adalah ketidakadaan
suasana mendukung untuk menjadi bahagia, sepi itu pilu.
Ruangan kamarku
ini masih sama seperti 2 tahun yang lalu ketika aku meninggalkannya. Masih
memiliki 1 kasur, 1 lemari besar,4 buah kaca di setiap sudut ruangan, sebuah
meja kecil untuk barang-barangku, dan sebuah meja rias tepat di depan kasur.
Kamar ini masih saja berwarna biru muda dengan wallpaper doraemon dari
setengah tembok ini. Kasur kayu yang
sudah 15 tahun ada di rumah ini. Mama sengaja tidak memindahkan barang-barang
ini karena ini adalah identitas diriku. Mereka bilang aku seperti anak-anak,
tapi inilah aku. Aku tumbuh menjadi remaja dengan latar belakang aku masih
menjadi anak-anak.
Ada yang baru di
kamar ini setelah aku meninggalkannya cukup lama. Ada sebuah lukisan di sebelah
lemari bajuku. Lukisan tersebut mungkin dibawa Reina, anak pembantuku yang menempati
kamarku selama aku di Bandung. Lukisan itu adalah seseorang yang memiliki
hidung mancung, bibir tipis, mata besar dan bulat, dan bulu mata lentik serta
memiliki lesung pipi di pipi sebelah kanannya. Itu yang unik. Ia hanya memiliki
1 lesung pipi di pipinya. Aku tersenyum melihatnya. Wajah yang cantik, ah tidak
ia tampan. Apakah ia masih hidup? Ataukah ia adalah kekasih dari Reina? Ah
beruntung sekali reina memiliki kekasih seperti ia. Sedangkan wajah reina tidak
secantik wajahku .
Tubuh
yang lelah ini sengaja kurebahkan pada kasur berwarna biru tua. Sambil
membayangkan wajah itu, aku tebawa pada suasana malam itu. Malam yang dingin
dengan kamarku juga yang sangat dingin. Terasa pelukan hangat dari sampingku.
Halusinasi. Hanya halusinasi yang mengantarku tidur pulas dengan kelembutan.
***
Dalam
sebuah taman fantasi, aku menemukannya terbaring dalam balutan jubah putih.
Dengan tudung putih. Wajah itu pucat, matanya tertutup, bibirnya kering, dan
hidungnya bergantian menarik dan menghela nafas. Beberapa detik kemudian ketika
aku mendekati tubuh yang tergeletak begitu saja di bawah pohon berwarna ungu ia
mencoba untuk membuka matanya. Terlihat ia kesulitan dalam membuka sepasang
mata indah itu. Aku menemukan sebuah keindahan dalam wajahnya.
Ia
terbangun dan menatapku takut. Aku tidak tahu apakah ia seorang laki-laki
ataukah seorang wanita. Tidak ada yang jelas bisa kulihat dari balik balutan
jubah putihnya itu. Tangannya bergerak sedikit demi sedikit memeriksa suhu pada
lehernya. Ia sangat pucat. Kalaupun ia wanita tidak ada bekas lipstik, bedak,
eyeliner, ataupun blush on pada wajahnya. Pucat. Seperti mayat baru mati.
“siapa
kau?” Ia seperti ketakutan melihatku memperhatikannya terus menerus.
Aku
terkejut karena balasannya atas tatapanku yang kurasa sudah terlihat sangat
memberikan rasa iba. “aku June. Aku melihatmu di samping lemariku?” tidak lupa
aku bertanya padanya masalah lukisannya yang terletak di sebelah lemariku.
“kau
tidak perlu tahu siapa aku, June. Aku juli” jawabnya
“nama
kita sama?”
“hampir
sedikit saja” ia mulai membuatku nyaman dengannya. Wajahnya mulai menunjukkan
kalau ia juga sudah membuka hatinya untuk berkawan denganku. “ini tempat
tinggalku. Tempat tinggal keluarga dan kerabatku” ia memperkenalkan asalnya.
“loh?
Aneh. Aku tidak pernah tau di mana ini? Apa ini di bumi? Mengapa pohon ini
berwarna ungu? Mengapa sungai itu berwarna merah pekat?” aku menunjuk suatu
sungai pada Jul. Sungai yang kira-kira berada 5 meter di depanku itu berwarna
merah pekat. Seperti darah yang mengalir di dalam sungai.
“ikut
aku” ia mengajakku dengan menggenggam tanganku. Terasa sebuah getaran kecil di
dadaku. Genggaman tangan seorang laki-laki. Membuatku nyaman dan aman.
Membuatku terbawa suasana dan menuruti makhluk yang baru pertama kali kutemui ini.
Jul
membawaku pada satu daerah yang aneh. Entah di mana itu. Wanita di sana
berjubah putih semua. Mereka selalu melotot tapi mereka manusia. Aku meyakinkan
itu dalam hatiku. Mereka adalah manusia sama sepertiku. Walaupun hatiku berkata
berbeda. Rumah Jul adalah satu-satunya rumah yang mewah di sana. Tidak ada
seorangpun di rumahnya. Ia tinggal seorang diri tanpa orang tua dan saudara.
Rumahnya sepi tapi ramai. Aku tidak dapat mendeksripsikan keramaian apa itu.
Yang kutangkap ada sebuah suara desiran ombak.
Aku
tidak akan bertanya pada Jul suara apa itu. Aku hanya akan membuatnya
menertawakan kebodohanku. Pertanyaan yang bagiku penting akan tidak terlalu
penting jika harus ditanyakan pada makhluk ini.
“ayo
kita keliling kota” Jul mulai dengan pernyataan idiotnya. Ia tahu aku begitu
lelah untuk mencapai rumahnya ini. Tapi sekarang ia mengajakku untuk
berkeliling kota kembali. Yang kulihat,tidak ada satupun kendaraan di jalan
tadi. Semuanya pergi menggunakan kedua kakinya masing-masing.
“kau
gila jul! Aku lelah. Aku butuh istirahat.”
“tidak
ada kamar lebih” jul membantah.
“aku
tidur di kamarmu”
“tidak!”
bentak Jul cukup keras. Aku mulai merasakan suatu yang beda. Aku yakin pada
satu pandanganku terhadap Jul. Keyakinan awalku melihatnya.
Suara
jul adalah satu-satunya suara yang terdengar begitu di dunia. Tidak seperti
laki-laki tapi tidak seperti perempuan juga. Suaranya melengking namun tidak
lembut. Suaranya membuatku penasaran siapa makhluk ini.
***
Terbangun
aku ketika sang mentari menyinarkan pancaran cahaya pada bumi ini. Bumi di mana
semua makhluk aneh berada. Aku berada dalam sebuah kamar bercat putih, tempat
tidur putih, lemari dengan warna putih pula, dan sebuah pembatas ruangan
bergorden putih. Ada suara gemercik air di balik gorden itu. Seseorang sedang
mandi di balik gorden itu. Pasti Jul. Aku tidak seberani itu untuk mengintip
Jul mandi. Kalau ia adalah wanita mungkin ia bisa maklum, namun jika ia seorang
pria, penjelasan apa yang harus kuberikan padanya?
Seorang
yang memakai handuk setengah badan keluar dari ruangan yang ternyata kamar
mandi tersebut. Rambutnya hanya 3 cm dengan badan yang berisi tapi tidak
terlalu gemuk. Ia adalah Jul tanpa jubah dan penutup kepalanya.
Ia
melihatku dengan ekspresi seakan-akan aku mengintipnya mandi, ia menutup
wajahnya dan mencari jubah beserta penutup kepalanya. Ia benar-benar aneh.
aku
mendekatinya dengan langkah penasaran. Jul benar-benar membuatku gila! Hanya
ingin melihatnya saja aku harus berjalan pelan tanpa suara. Ia masih sibuk
dengan pencarian jubahnya. Ia lupa menaruhnya di samping tempat tidurnya yang
jaraknya lebih dekat padaku.
“jubahmu?”
tanyaku mengayunkan leherku dengan senyuman super lebar. Membuat makhluk itu
kaget dan menutup wajahnya malu.
“tutup
matamu june!” bentak laki-laki itu malu.
Jarakku
lebih kudekatkan padanya. Jemari-jemarinya itu kini telah kugenggam kencang.
Matanya tertutup sama seperti pertama kami bertemu. Ia tidak berani menatapku
yang hanya memakai atasan kemeja kebesaran dan celana pendek yang lebih
terlihat aku tidak memakainya.
“jul,
aku hanya ingin lihat dirimu.” Pintaku padanya dengan rayuan maut mataku ini.
Ketika ia membuka matanya aku mulai memainkan mataku yang kebanyakan orang
bilang keindahan ini.
Ia
menatap mataku dan luluh pada sepasang mata indah ini. Jul menyerahkan
keindahan dirinya padaku untuk aku perhatikan. Ingin rasanya aku memeluk tubuh
itu. Jul masih saja pada kedataran wajahnya.
Aku
melepaskan genggamanku dan tersenyum pada makhluk ini. Ia tersenyum lembut
padaku, sebuah lesung pipi di pipi kanan Jul membuatku mabuk kepayang. Lesung
pipi itu yang membuatku terbang ke angkasa menembus awan. Lesung pipi itu yang
membuatku masih ingin tertidur seperti ini.
***
Tersadar
bahwa ini semua hanya mimpi dan ketika aku terbangun aku ada dalam suatu kamar
berwarna biru. Bukan kamar berwarna putih. Kamar yang kerap kulihat dalam
hari-hariku. Tanpa seorang Jul.
Mataku
masih mencari-cari jejak Jul. Lukisan itu pecah berantakan. Berserakan bagaikan
sampah masuk ke dalam tempat sampah kecil di kamarku. Kurapikan kembali lukisan
itu.
Kurapihkan
dan kususun lukisan itu seperti semula. Ada satu titik di lukisan ini yang
hilang. Lesung pipi Jul. Aku mencari nya dalam semua tempat di kamarku. Setiap
sudut aku bedah. Semuanya. Lesung pipi Jul hilang.
aku
tenggelam dalam kesedihan dan kehilangan sosok yang membuatku merasakan beda
dalam setiap desiran darahku, setiap detakkan jantungku, dan setiap hembusan
nafasku. Tidak berhenti aku terdiam melamun pada waktu bulan menari di atas
sana bersama dayang bintang.
“jun”
sesosok yang kucari berdiri di sebelah lemari. Ia tersenyum dengan sebuah
lesung pipi di sebelah kanan pipinya. Ia memberikan tangan kanannya. Jul
menggunakan jubah putihnya tanpa penutup kepala. Aku memeluknya erat.
Kupejamkan mataku sebagai bentuk aku sedang khusyuk dalam kehangatan sebuah
pelukan.
***
Aku
berada pada kamar putih itu lagi! Kamar yang semua isinya berwarna putih.
Ketika ku terbangun kali ini di kamar ini ada Jul yang masih memelukku erat
dalam lelap tidurnya. Mungkin ini malam hari di dunia yang berbeda ini. Jul
selalu ingin mengajakku untuk bermain di luar sana. Berjalan-jalan keliling
kota sekedar memamerkan kota tempatnya tinggal.
“jul”
aku memandang wajahnya dari dekat sekarang. Lesung pipi itu, aku telah
menemukannya sekarang. “jul bangun” aku mencoba untuk membangunkannya.
Sudah
hampir 3 jam aku mencoba membangunkan Jul. Ia tetap terpejam. Dalam pelukanku.
Ia tetap terpejam walau suaraku hampir habis memanggil namanya. Jul.
Air
mata ini semakin hangat membasahi pipi. Jul tidak akan bangun, tidak untuk
selama-lamanya. Dan ketika aku membuka mataku perlahan aku ada dalam sebuah
kamar biru. Bukan kamar putih lagi.
***
Pertama
yang kulihat dan kudengar adalah John dengan hardikannya yang membuatku takut.
Aku tertidur beberapa jam dengan tanpa sehelai benangpun di tubuhku. Ia mencoba
membunuhku dengan tatapan tajamnya dan tusukan setiap kata yang keluar dari
mulutnya.
Setiap
ia mengeluarkan pisau aku selalu tertidur dan merasa tenang dengan
kegelisahanku ini. Setiap hari yang kurasakan adalah ini. John selalu ingin
membunuhku di waktu pagi, siang, dan malam. Ia adalah pilihan tidak tepat orang
tuaku untuk menjadikannya suamiku. Aku sama sekali benci John. Dia ingin
membunuhku! Di kantongnya selalu ia menyembunyikan pisau belati. Entah apa yang
membuatku selaku tertidur ketika ia ingin membunuhku.
Aku
ingin bersama mu di sana. Aku merindukanmu dalam setiap hembusan nafasku, dalam
setiap detakan jantungku, dalam setiap langkahku, dalam setiap halusinasiku
padamu. Mungkin sekarang kau pergi, namun suatu saat nanti jika kau kembali
padaku aku tidak akan pernah melupakanmu. Dalam setiap pikiranku, aku
mencintaimu, JUL.
***
Tangerang,
20 oktober 2012
Pada
tengah malam yang dingin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar