Kamis, 07 April 2016

Ketika Pertanyaan ‘Kapan Kawin?’ Sudah Melampaui Batas.



“Kapan kawin? Temen-temennya udah punya anak tuh.”
“Kapan kawin? Emang mau jadi perawan tua?”
“Kapan kawin? Ih pacaran lama gak bagus, banyak zinah!”

Tidak jarang bagi kita, anak muda yang umurnya berkisar antara 22 seterusnya mendapatkan pertanyaan tersebut dari orang-orang terdekat kita. Bahkan dari orang yang sama sekali kita tidak kenal. Tidak dapat dipungkiri pertanyaan seperti itu juga kerap mengganggu pikiran kita yang sebelumnya menganggap pernikahan bukanlah hal yang menjadi prioritas. Bukan semata-mata terganggu karena merasa ingin segera menikah juga, namun risih!

Sebagai anak muda yang sebentar lagi menginjak usia 22 Tahun, Saya sendiri kerap mendapatkan pertanyaan seperti itu dari kawan, saudara, orang tua, hingga orang yang Saya baru kenal. Beberapa di antaranya beralasan karena Saya sudah terlalu lama menjalin hubungan dengan partner Saya. Beberapa di antaranya sedang berada pada euphoria ‘asik nikah muda’. Pada tulisan ini Saya tidak akan menyalahkan pihak yang ingin menikah muda ataupun sebaliknya. Saya hanya akan mengemukakan pikiran dan alasan mengapa sebenarnya pertanyaan ‘Kapan Nikah’ ini harus dikurangi dan bahkan dihapuskan.

Dari banyaknya pertanyaan ‘kapan nikah?’ yang dilontarkan kawan-kawan saya, tidak jarang saya menjawab dengan nada datar ’nanti umur 29 tahun!’, atau jika dalam keadaan sabar yang tinggi Saya akan menjawab ‘ya nanti, abis Saya kerja!’. Sungguh, tidak ada jawaban yang benar-benar serius Saya lontarkan untuk pertanyaan ini.

Pernah Saya membaca sebuah artikel yang menjelaskan bahwa pertanyaan seperti ini sesungguhnya telah melanggar hak privasi seseorang. Orang di balik pertanyaan ini seakan ingin mengusik orang yang ditanya-nya dengan pertanyaan tersebut. Sesungguhnya, apa sih keuntungan yang didapat dari penanya jika yang ditanya memang segera akan menikah? Ini perlu dikaji kembali, apakah pertanyaan ‘kapan kawin’ ini memiliki arti sendiri atau Cuma pertanyaan basa-basi?

Permasalahan lainnya pada pertanyaan ini kerap menjurus pada perlakuan memojokkan posisi perempuan. Pada dasarnya, posisi perempuan dalam sistem masyarakat kita ada di kelas dua. Perempuan ‘dinikahkan’, bukan ‘menikah’. Kedua hal tersebut jelas berbeda. Dinikahkan adalah seakan-akan perempuan tersebut tidak punya hak atas dirinya sendiri, Ia diambil, dinikahkan, dimiliki, dan dibawa pulang oleh orang yang menikahkan. Sedangkan menikah adalah komitmen dua pihak yang sama-sama ingin terikat di hukum dan agama.

Menikah di usia tua ataupun muda (di atas usia matang) tidaklah masalah, asal memang atas persetujuan dua belah pihak. Dan keduanya tidak ada yang terpaksa dalam pernikahan tersebut. Banyak loh anak-anak yang menjadi korban pernikahan anak di bawah usia semestinya, sayangnya Negara kita kalah dengan aturan-aturan lainnya. Padahal hal ini akan berbahaya pada pengantin perempuannya, yang beresiko meninggal di usia dini. Mungkin kita harus berkaca karena terlalu mempermasalahkan moral orang dibandingkan melihat dampak panjang dari permasalahan tersebut. Masyarakat kita kerap terjebak pada anggapan jika tidak dinikahkan muda, maka Ia akan berzina. Menurut Saya, apapun alasannya Hak pendidikan anak harus tetap diberikan. Menikahkannya di usia muda hanya akan memotong Hak pendidikan tersebut. Dampaknya? Banyak. Salah satunya pemiskinan perempuan karena Hak pendidikannya dipotong.

Membahas mengenai ‘perawan tua’ karena lama menikah. Saya cukup kecewa jika ada kawan yang berbicara seperti ini di depan Saya. Kenapa? Orang itu telah melanggar hak seorang perempuan untuk memilih dirinya menikah di usia berapa, terlebih lagi Ia juga melanggar hak perempuan untuk memilih apakah dirinya akan menikah atau tidak. Kata ‘perawan tua’ seakan menghakimi perempuan bahwa Ia adalah makhluk menyedihkan yang seharusnya telah lama menikah. Kita hidup di dunia dimana perempuan menjadi kelas dua sehingga Ia tidak dapat berdiri dan menentukan dirinya sendiri. Untuk itu stigma semacam ini harus dilawan.

Jika boleh menjawab, pertanyaan kenapa Saya tidak ingin turut dalam trend ‘nikah muda’ yang sedang berkembang saat ini, pertama sudah dijelaskan sebelumnya Saya ingin menikah bukan dinikahi. Sehingga dengan alasan ini Saya punya Hak untuk menentukan kapan Saya akan menikah dan bagaimana perjalanan hidup saya.

Ohya, Saya selalu turut bahagia dengan pernikahan siapapun. Beberapa kawan ada yang merasa aneh jika membicarakan masalah pernikahan dengan Saya karena dianggap Saya kontra dengan pernikahan muda. Tidak, Saya tidak kontra sama sekali. Setiap orang punya Hak untuk memilih.

Akhir kata, Kita tidak pernah tahu bagaimana latar belakang kehidupan seseorang. Mungkin saja kamu bertemu dengan orang yang menganggap ‘kapan kawin’ itu sebagai  pertanyaan penting dan harus segera di selesaikan, padahal orang itu masih punya sejuta mimpi yang harus digapai. Tapi karena pertanyaanmu yang membuatnya kepikiran, Ia rela menomerduakan mimpinya untuk menjawab pertanyaanmu. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan sebelum bertanya kembali ‘kapan kawin?’ ke orang yang sama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar