“Kapan
kawin? Temen-temennya udah punya anak tuh.”
“Kapan
kawin? Emang mau jadi perawan tua?”
“Kapan
kawin? Ih pacaran lama gak bagus, banyak zinah!”
Tidak jarang bagi kita, anak
muda yang umurnya berkisar antara 22 seterusnya mendapatkan pertanyaan tersebut
dari orang-orang terdekat kita. Bahkan dari orang yang sama sekali kita tidak
kenal. Tidak dapat dipungkiri pertanyaan seperti itu juga kerap mengganggu
pikiran kita yang sebelumnya menganggap pernikahan bukanlah hal yang menjadi
prioritas. Bukan semata-mata terganggu karena merasa ingin segera menikah juga,
namun risih!
Sebagai anak muda yang
sebentar lagi menginjak usia 22 Tahun, Saya sendiri kerap mendapatkan
pertanyaan seperti itu dari kawan, saudara, orang tua, hingga orang yang Saya baru
kenal. Beberapa di antaranya beralasan karena Saya sudah terlalu lama menjalin
hubungan dengan partner Saya. Beberapa di antaranya sedang berada pada euphoria ‘asik nikah muda’. Pada tulisan
ini Saya tidak akan menyalahkan pihak yang ingin menikah muda ataupun
sebaliknya. Saya hanya akan mengemukakan pikiran dan alasan mengapa sebenarnya
pertanyaan ‘Kapan Nikah’ ini harus dikurangi dan bahkan dihapuskan.
Dari banyaknya pertanyaan ‘kapan
nikah?’ yang dilontarkan kawan-kawan saya, tidak jarang saya menjawab dengan
nada datar ’nanti umur 29 tahun!’, atau jika dalam keadaan sabar yang tinggi
Saya akan menjawab ‘ya nanti, abis Saya kerja!’. Sungguh, tidak ada jawaban
yang benar-benar serius Saya lontarkan untuk pertanyaan ini.
Pernah Saya membaca sebuah
artikel yang menjelaskan bahwa pertanyaan seperti ini sesungguhnya telah
melanggar hak privasi seseorang. Orang di balik pertanyaan ini seakan ingin
mengusik orang yang ditanya-nya dengan pertanyaan tersebut. Sesungguhnya, apa
sih keuntungan yang didapat dari penanya jika yang ditanya memang segera akan
menikah? Ini perlu dikaji kembali, apakah pertanyaan ‘kapan kawin’ ini memiliki
arti sendiri atau Cuma pertanyaan basa-basi?
Permasalahan lainnya pada
pertanyaan ini kerap menjurus pada perlakuan memojokkan posisi perempuan. Pada dasarnya,
posisi perempuan dalam sistem masyarakat kita ada di kelas dua. Perempuan ‘dinikahkan’,
bukan ‘menikah’. Kedua hal tersebut jelas berbeda. Dinikahkan adalah
seakan-akan perempuan tersebut tidak punya hak atas dirinya sendiri, Ia
diambil, dinikahkan, dimiliki, dan dibawa pulang oleh orang yang menikahkan. Sedangkan
menikah adalah komitmen dua pihak yang sama-sama ingin terikat di hukum dan
agama.
Menikah di usia tua ataupun
muda (di atas usia matang) tidaklah masalah, asal memang atas persetujuan dua
belah pihak. Dan keduanya tidak ada yang terpaksa dalam pernikahan tersebut. Banyak
loh anak-anak yang menjadi korban pernikahan anak di bawah usia semestinya,
sayangnya Negara kita kalah dengan aturan-aturan lainnya. Padahal hal ini akan
berbahaya pada pengantin perempuannya, yang beresiko meninggal di usia dini. Mungkin kita harus berkaca karena terlalu
mempermasalahkan moral orang dibandingkan melihat dampak panjang dari
permasalahan tersebut. Masyarakat kita kerap terjebak pada anggapan jika tidak
dinikahkan muda, maka Ia akan berzina. Menurut Saya, apapun alasannya Hak
pendidikan anak harus tetap diberikan. Menikahkannya di usia muda hanya akan
memotong Hak pendidikan tersebut. Dampaknya? Banyak. Salah satunya pemiskinan
perempuan karena Hak pendidikannya dipotong.
Membahas mengenai ‘perawan
tua’ karena lama menikah. Saya cukup kecewa jika ada kawan yang berbicara
seperti ini di depan Saya. Kenapa? Orang itu telah melanggar hak seorang
perempuan untuk memilih dirinya menikah di usia berapa, terlebih lagi Ia juga
melanggar hak perempuan untuk memilih apakah dirinya akan menikah atau tidak. Kata
‘perawan tua’ seakan menghakimi perempuan bahwa Ia adalah makhluk menyedihkan
yang seharusnya telah lama menikah. Kita hidup di dunia dimana perempuan
menjadi kelas dua sehingga Ia tidak dapat berdiri dan menentukan dirinya
sendiri. Untuk itu stigma semacam ini harus dilawan.
Jika boleh menjawab,
pertanyaan kenapa Saya tidak ingin turut dalam trend ‘nikah muda’ yang sedang
berkembang saat ini, pertama sudah dijelaskan sebelumnya Saya ingin menikah
bukan dinikahi. Sehingga dengan alasan ini Saya punya Hak untuk menentukan
kapan Saya akan menikah dan bagaimana perjalanan hidup saya.
Ohya, Saya selalu turut
bahagia dengan pernikahan siapapun. Beberapa kawan ada yang merasa aneh jika
membicarakan masalah pernikahan dengan Saya karena dianggap Saya kontra dengan
pernikahan muda. Tidak, Saya tidak kontra sama sekali. Setiap orang punya Hak
untuk memilih.
Akhir kata, Kita tidak
pernah tahu bagaimana latar belakang kehidupan seseorang. Mungkin saja kamu
bertemu dengan orang yang menganggap ‘kapan kawin’ itu sebagai pertanyaan penting dan harus segera di
selesaikan, padahal orang itu masih punya sejuta mimpi yang harus digapai. Tapi
karena pertanyaanmu yang membuatnya kepikiran, Ia rela menomerduakan mimpinya
untuk menjawab pertanyaanmu. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan sebelum
bertanya kembali ‘kapan kawin?’ ke orang yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar