Senin, 05 Februari 2018

Saya.

Saya melihat burung-burung yang beterbangan di atas kepala Saya.
Mereka terbang ke mana-mana, bergerak bebas seperti balerina yang sedang menari.
Mereka hinggap dari satu ranting ke ranting lainnya yang belum pernah mereka sentuh sebelumnya

Sedang Saya di sini berdiri di atas tanah yang dilapisi rumput bekas diinjak-injak dan kemudian mengering tidak terawat. Hujan pun tak mau datang, kemarau panjang. Saya berdiri di atas tanah dan juga rumput yang kering. Di atas tanah dan rumput yang terlupakan, bahkan oleh semesta.

Tapi, di setiap kaki-kaki burung yang terbang bebas itu telah diikatkan puluhan tali untuk kembali menarik mereka agar tak melewati batas langit. Mereka membawa rindu pada setiap kepakkan sayap. Mereka mengenal rumah, tempat untuk kembali sebaik-baiknya di kala hati mereka ingin pulang. Mereka mengenal rumah di dalam kepala mereka, untuk berteduh di kala hujan dan gemuruh menyerang. 

Saya telanjang. Tak sehelai benangpun Saya kenakan untuk dapat mengingat dingin atau panas yang tubuh Saya rasakan. 
Saya tidak mengenal pulang dan pergi. 
Saya tidak mengingatnya.

Satu yang Saya ingat adalah tubuh yang terus bergerak mengejar kebahagiaan.
Bahagia yang tidak pernah selesai Saya definiskan. 
Saya belum mau pulang, 
Saya belum merindu, 
Saya berjalan, tidak berterbangan.
Kelak, akan Saya panjati ranting-ranting itu.
Kelak juga akan Saya hancurkan rumput-rumput beserta tanah yang tandus itu.

Dan Saya akan terus berjalan, menari, dan tenggelam
Hingga bertemu pulang yang menghadirkan hujan sekaligus kekeringan.

Senin, 5 Feb 2018
Di ruangan yang dingin.