Minggu, 20 November 2016

Ekspektasi yang Lahir dari Sepasang Mata

Manusia senang untuk membangun ekspektasi pada manusia lainnya.
Seperti membangun tangga yang perlahan-lahan menuntunnya untuk mencapai puncak impian.
Terbangun dari kata, dari suara di ujung sana, yang terdengar bersahabat.

Malam-malam itu Saya lalui untuk membangun sendiri tangga ekspektasi Saya.
Namun Saya selalu kembali bertanya, apa Saya sedang membangun tangga atau tembok?
Karena semakin jauh Saya berekspektasi, rasanya semakin tinggi pula tembok di depan mata Saya.

Malam-malam itu Saya lalui juga untuk membingkai ucapan demi ucapan, berharap kelak suatu hari nanti bisa Saya buka kembali untuk melihat betapa manisnya ekspektasi Saya di masa lalu yang menuntun Saya di kemudian hari.
Tapi tembok semakin tinggi, mengusir Saya sendiri menjauh dari sana.
Ditendang dan dihancurkan. Hingga ekspektasi Saya hancur lebur bersatu dengan tanah yang Saya pijak.

Saya pun tak cukup lihai untuk membangun kembali, karena ekspektasi Saya justru menghancurkan dirinya sendiri tanpa komando.
Hari berikutnya Saya mencoba untuk berekspektasi pada diri sendiri, membangun sebuah tangga yang bisa Saya lalui untuk mencapai apa yang Saya inginkan dalam hidup Saya tanpa perlu menyapa ekspektasi Saya yang telah luluh lantah.
Meski puing-puingnya tetap merayu, memanggil seakan Ia masih bisa dirakit kembali bagai puzzle yang berantakan dan siap dirapikan kembali.

Tapi kadang juga impian bisa datang dengan sendirinya tanpa kita berekspektasi terlebih dahulu.
Ia datang dengan sendirinya, di sebuah senja dengan senyumannya yang manis dan tatapan matanya yang syahdu.
Ia datang membawa sebuah gambar yang menunjukkan bagaimana hubungannya ekspektasi dengan tangga.
Tanpa pernah menyebut dimana Ia akan berada selama Saya membangun kembali ekspektasi Saya.

Matanya teduh, melambai di balik kokohnya ekspektasi yang telah Saya buat untuk diri Saya sendiri. Tapi juga tidak pernah memberi izin gambarnya dapat digunakan untuk membangun ekspektasi Saya.
Kemudian, Saya luluh kembali. Saya jatuh dari tangga, dari ekspektasi Saya kepada diri Saya sendiri. Mengemis kembali untuk membangun tangga baru, dan diam-diam berharap dia menunggu di ujung harapan Saya. Untuk berjalan berdua menuju harapan-harapan yang baru.
Nyatanya tidak, bius ekspektasi dari sepasang mata hanya canda semata. Untuk membuat kaki Saya goyah dan terjatuh.

Jika itu pertanyaannya, maka jawabannya “YA”. Saya terjatuh. 

Minggu, 04 September 2016

Hidup dan Mati



Hidup dan kematian hanya dibatasi oleh suatu tangisan.
Disambut dan dilepas dengan tangis.
Kadang tangisan pun terlalu abstrak untuk digambarkan sebagai simbol kepedihan atau kebahagiaan.
Toh keduanya bisa saja terjadi bersamaan.
Terbentuk oleh pikiran kita yang mengaburkan batasan antara keduanya.

Begitu juga mati.
Apa benar kelahiran adalah penanda kita hidup.
Atau kematian adalah penanda kita selesai untuk hidup.
Atau justru kematian adalah awal dari kehidupan yang sesungguhnya.
Batasnya semakin kabur.
Yang Saya tahu, kita semakin takut untuk menujunya.
Takut untuk meninggalkan kita yang ada di muka bumi.

Kehidupan setelah kematian semakin kabur dan berkabut.
Oleh manusia-manusia yang percaya, hidup adalah mengenai menginjak tanah di bumi.
Kemudian dibuat kabur dan buram oleh orang yang menganggap ada kehidupan.
Berlari menuju kematian sebelum tiba saatnya nama yang dipanggil.

Kelahiran dan kematian hanyalah sebuah kata.
Yang bermakna pada setiap kepala yang memaknainya.
Kelahiran dan kematian hanyalah sepasang kata mengawali dan mengakhiri.
Bagi kita yang terlalu naïf.
Karena hidup ternyata lebih rumit dari pada itu.


Sabtu, 03 September 2016

Jul dan Doa Seorang Penyintas

Seorang anak Perempuan lari tergopoh-gopoh ke salah satu ruangan yang berada di ujung koridor. Suasana nampak sepi tak berpenghuni, sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci yang diucapkan berhati-hati. Ruangan tersebut gelap dan hanya beberapa guru yang sedang bercakap-cakap di sana, sembari menikmati sarapan mereka. Sesekali suara mesin mobil menyala, pertanda beberapa jemputan anak-anak SD tersebut kembali pulang ke mana mereka seharusnya. Karena ternyata peraturan sekolah tidak membolehkan mereka masuk dan berlama-lama di sekolah. Anak-anak harus mandiri bersama guru, ujar mereka.

Jantung Juli berdegup kencang, Ia masih tidak percaya apa yang dilakukannya sampai sejauh ini. Biasanya berlindung di balik meja sudahlah cukup baginya, diam tidak bersuara yang penting hari tersebut akan segera berlalu baginya. Kali ini, Ia mengambil langkah yang jauh dari biasanya. Ia lari ke ruangan guru untuk mengucap sepatah dua patah kata apa yang ada di dalam pikirannya, berharap Ia bisa menjadi orang yang cukup dewasa untuk dapat berucap secara jelas. Jul hanyalah murid kelas 4 SD, bahkan Ia tidak tahu menahu saat itu apa yang dialaminya salah ataupun benar.

Baginya, melangkahkan kaki keluar dari meja adalah hal yang baru dan penuh keberanian, terlebih Ia memiliki tujuan yang sangat besar. Tujuan untuk mengungkapkan apa yang baru dialaminya, dan ini bukan yang pertama kali dalam hidupnya. Tapi ketika sudah berdiri di depan ruangan guru, Ia hanya bisa berdiri dan terdiam. Mulutnya ingin bercerita namun kakinya beku bak ditimpa semen basah yang kemudian mengering. Jul menangis, bukan hanya karena perlakuan yang Ia dapatkan di dalam kelas. Namun juga karena Ia tidak dapat bersuara ketika seharusnya Ia dapat bersuara.

Jul sempat berpikiran bahwa apa yang Ia alami di hari-hari itu adalah karena bentuk tubuhnya sendiri. Ia harus mendapat perlakuan berbeda dari salah seorang kawannya, yang sepertinya memiliki kesalahan dalam otaknya. Jul takut diberikan stigma dari lingkungannya atas apa yang terjadi padanya, Ia takut dihujat Ia takut diberikan stempel ‘anak nakal’ karena Ia telah menanggung semua perlakuan kawannya, sampai anak sekecil Jul harus dapat berpikir keras sejauh apa salahnya pada dunia. Toh dia tidak pernah berbuat apa-apa. Kini setelah Ia berumur 25 tahun barulah Ia tahu bahwa apa yang dialaminya bukanlah setitikpun kesalahannya. Ia menjadi korban tindak kekerasan seksual dari kawannya yang memiliki relasi kuasa. Anak laki-laki itu adalah seorang ‘jagoan’ di kelas tersebut. Ini yang menyebabkan tidak ada satupun siswa yang berani melawannya. Termasuk kawan-kawan di dalam lingkarannya.

Kini Jul mencoba berdiri di atas sebelah kakinya, mencoba agar tetap seimbang meski Ia tahu kaki sebelahnya tidak pernah Ia latih untuk berlari. Ia tumbuh berdasarkan logika, dan mencoba mematikan hatinya karena Ia terlalu takut untuk ditikam kembali.
###

Kisah tersebut bercerita tentang pengalaman nyata seorang penyintas yang mengalami kekerasan seksual ketika Ia masih kecil. Tidak banyak yang terlalu konsen dengan permasalahan ini. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja. Bahkan terjadi pada anak-anak, sampai dewasa. Kisah Juli bisa saja terjadi pada kita, anak kita kelak, ponakan kita, adik kita, atau orang-orang terdekat kita.

Seorang korban kekerasan seksual cenderung menutup mulut serapat-rapatnya karena takut dianggap menjadi aib keluarga dan takut dianggap menjadi manusia yang tidak berguna. Ini terjadi pada anak-anak dan juga orang dewasa. Ketika kekerasan seksual datang, Ia khas. Ia bicara mengenai pengalaman ketubuhan seseorang. Bahkan jiwa dan raganya  bisa menjadi mati karena itu. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, kejahatan kriminal karena ada niatan untuk merusak diri orang lain. Menurut Saya, ini tidak dapat dianggap sepele dan menjadikan kasus kekerasan seksual semata-mata sebagai persoalan moralitas saja.

Banyak Juli yang lain di dunia ini. Mereka diam dalam kesunyian, tidak jarang mereka berdiri hanya di sebelah kakinya sedangkan kaki yang lainnya lumpuh. Terseok-seok menjalani tuntutan hidup, berada di ambang hidup dan mati. Karena hidup terlalu berat dan mati belum tentu menjadi jawaban dari semua pertanyaan. Apa mati benar-benar dapat menghabiskan semua ingatan, keperihan, dan juga keputusasaan?

Juli adalah Saya, Juli adalah kamu yang teriris saat membaca kisahnya. Juli adalah kita. Saya rasa Saya dapat mengaminkan doa bahwa kelak akan ada keadilan yang nyata untuk penyintas-penyintas seperti Jul. 

Jadilah cahaya dan jangan memberikan beban pada Jul. Karena bagaimanapun juga, Jul dan seluruh manusia di bumi ini berhak untuk bahagia.

-3 September 2016-

Untuk Jul, aku, dan manusia. 

Minggu, 21 Agustus 2016

Manusia yang Berdiri di Persimpangan Jalan

Putih terlalu terang dan hitam terlalu gelap, hari ini Saya berdiri pada persimpangan jalan. Untuk mengucap halo pada seseorang dan mengucap selamat tinggal ketika Ia mulai kembali pada kehidupannya.

Tapi kemudian Saya sadar, hidup bukan hanya mengenai orang lain. Tapi bagaimana Saya sendiri merasa senang. Mungkin saja saat ini Saya sedang berada pada persimpangan jalan orang lain. Mencoba untuk tetap tinggal, dan nyatanya diam-diam Saya beranjak pergi meninggalkan orang tersebut.

Saya belum bisa memilih apakah kanan adalah selalu hal yang baik atau kiri adalah selalu hal yang buruk, seperti saat kecil kita diajarkan bagaimana tangan yang bagus untuk makan. Setahu Saya itu hanya konstruksi. Saya juga tidak tahu apakah putih selalu terang dan hitam selalu gelap seperti yang Saya sebutkan sebelumnya.

Saya bimbang. Tapi yang Saya tahu, Saya sedang jatuh cinta pada diri Saya sendiri. Pada sesuatu yang telah lama terpendam di diri Saya. Kebebasan. Beberapa tahun terakhir, Saya mencoba mencari sendiri apa artinya kebebasan dan pada hari ini Saya puas dengan kebebasan yang Saya definisikan itu sendiri. Menulis dengan liar, bercengkrama dengan jiwa dan pikiran Saya sendiri, berbicara pada seseorang yang mencintai Saya sejak Saya lahir.

Akhirnya, Saya tuliskan tulisan ini untuk siapapun yang mencari di mana Saya berada. Saya masih di sini, di persimpangan jalan kalian. Semoga kalian berkenan tetap dan menjadi kawan Saya dalam pikiran Saya, seperti halnya dua arah yang kemudian akan kembali meski menapak pada jalannya masing-masing, seperti seseorang yang merindukan rumahnya sehingga Ia tahu ke mana harus pulang. 

Sabtu, 09 Juli 2016

How to Be Single in Real Life.


-How to be single-. 

Film ini menceritakan tentang beberapa perempuan dan seorang laki-laki yang kehidupannya berada pada masa-masa sendiri mereka. Ada yang memilih sendiri karena harus menjauh dari pacarnya, ada yang memang lebih senang dengan kesendirian (dan lebih senang dengan kehidupan one night stand), ada yang memilih sendiri karena mencari pasangan terbaik, dan yang memilih sendiri karena (sepertinya) Ia cukup merasa sulit berada dalam komitmen hubungan.

Beberapa hal yang bisa dipetik dari film ini, dan sedikit membuat saya tersenyum adalah banyak orang berusaha sekuat tenaga untuk menjadi bahagia dalam kesendiriannya. Tapi apa? Mereka menggunakan cara orang lain, yang akhirnya adalah membuat mereka sendiri bingung dengan posisi mereka. Dalam keadaan saya saat ini (yang akhirnya) memilih untuk sendiri, film ini cukup berpengaruh pada diri saya karena saya merasa mungkin dengan cara-cara seperti itu saya bisa bahagia (mengenal lelaki lain, mengenal dunia yang benar-benar menghibur, mengenal apa yang saya sama sekali belum pernah temui sampai saat ini). Tapi, sesungguhnya kebahagiaan itu ada pada diri saya sendiri. Ketika saya mengikuti apa yang saya mau, saya merasa menjadi manusia bebas. Dengan dukungan dari (terutama) orang tua saya mengenai pilihan-pilihan hidup saya, saya rasa ini semua sudah cukup untuk membuat saya bahagia.

Saya belum ke mana-mana. Sama seperti orang-orang yang memilih sendiri lainnya. Saya masih di sini dengan tentunya hati dan pikiran yang baru. Jika kemarin saya banyak memikirkan tuntutan pernikahan, hari ini saya merasa bebas. Saya tidak perlu memahami orang lain untuk membuat saya bahagia. Toh saya bisa berdiri dan merdeka di atas diri saya sendiri. Mungkin, hanya belum waktunya saya untuk mengenal orang lagi.

Kebebasan, seperti yang dijelaskan dalam film ‘how to be single’ ini menurut saya cukup abstrak, karena sejauh-jauhnya kita melangkah dan semakin kita mencari kebebasan, sesungguhnya kita masih mengikat tuntutan di punggung kita. Entah memang tuntutan atau keinginan untuk tidak sendiri. Kadang, ketika kita sudah memilih untuk sendiri, ada banyak orang yang membuat kita yakin bahwa sendiri bukanlah pilihan yang baik, seakan kita harus hidup dengan bantuan orang lain.

Pada akhirnya, seperti yang terjadi hari ini. Saya berusaha untuk memulai pelan-pelan menghapus keinginan itu dan berusaha membuat jawaban untuk tuntutan yang diberikan pada saya. Kebebasan menurut saya pada akhirnya ada pada batasan-batasan diri sendiri, sejauh mana ia melangkah dan dimana letak garis penjaga yang selama ini dipasang. Kalau saya, garis itu sudah entah ke mana adanya. Maka saya harus berlari, meninggalkan garis awal, dan mengejar garis-garis kebebasan itu. Meskipun sampai hari ini saya tidak tahu seberapa jauh lagi saya harus berlari mengejar garis itu.
Saya bimbang, tapi hari ini saya tahu bahwa saya bebas.


Jumat, 01 Juli 2016

Tumpahan Pikiran

Jika ada yang bertanya, apa yang saya tinggalkan untuk masa lalu saya. Maka jawabannya adalah kenangan itu sendiri. Saya berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tingkat tertinggi dalam menyakiti hati saya sendiri. Saya sadar, hati saja tidaklah cukup untuk mencintai seseorang. Kamu juga harus menggunakan logika. Dan jika masih ada yang bertanya kenapa saya meninggalkan orang yang hampir  5 tahun bersama saya tersebut, mungkin akan menemui jawabannya di sini.

Saya dalam keadaan kacau balau saat ini, merasa benar-benar sendiri di antara kerumunan yang bercakap-cakap. Saya cepat lelah dan ingin segera pulang memeluk bantal supaya saya merasa aman. Saya merasa aman ketika saya sendirian. Karena ketika saya sendiri, saya mampu bercakap-cakap dengan diri saya sendiri. Saya bisa menulis apa yang saya suka, dan benar kata orang bahwa menulis adalah obat untuk meredam sakit hati.

Bertahun-tahun saya selalu belajar untuk meningkatkan kepercayaan diri saya dan belajar untuk mencintai diri saya sendiri di balik masa lalu saya yang cukup kelam. Dan ketika ada seseorang yang merusak usaha saya, jangan pernah Tanya kenapa saya tiba-tiba menghilang, siapapun dia.

Tapi saya merasa sepi, justru ketika saya mengedepankan logika dibandingkan hati saya. Tapi toh mungkin ini hanya sementara saja. Dalam proses ini saya merasa menjadi lebih dewasa, beberapa tahun terakhir saya merasa harus memiliki “kawan” untuk dimiliki. Dan sekarang saya merasa sendiri lebih baik dibanding memiliki “kawan” yang tidak satu visi dengan saya.

Di usia saya yang segini, dan tingkat kematangan pikiran saya, entah kenapa jadi banyak orang yang bertanya kepada saya “kapan kawin?”. Dan saya benar-benar menjawabnya nanti, mungkin di usia 25 tahun ke atas. Beberapa manusia membuat saya takut akan pernikahan. Saya tidak tahu kenapa saya bukan lagi manusia yang sebelum ini, yang selalu berkata ingin menikah cepat-cepat. Sekarang, saya merasa kalau saya bukanlah dia. Menikah bukanlah sekedar menyatukan dua pihak berbeda menjadi satu, lebih dari itu.. sangat rumit. Dan sekarang saya sangat takut untuk mengenal orang lain, karena rasanya akan sama. 

Selasa, 10 Mei 2016

Media and their perspectives to sexual violence survivors.


Today we all hear about Y. A girl who raped and murdered by 14 man (including 6 boys on it). I don't have a word to say. We are living in a wrong society. Because people keep talking about the dress we wore or the time we walked out. Nobody talks about what is wrong with the rapist.

Y is one of a million victims of sexual violence that ended in murder. Nobody talks about Y, before one of Indonesian feminist, KT, started a mini video campaign on #NyalaUntukYY and it followed with solidarity action in Monas (4/5). Media had so many stories to write about. It started from Y's case stories, the solidarity action, until the coverage about Y's  personal life.

They started to write about Y. Some of them still write the original name of Y and write the chronology of Y's rape case in detail.

Some of you may think I am too much to write about this. There are so many victims out there who will get trauma after read the chronology of Y's case. Rape is very hurtful, even though the victims didn't die.. But they actually feel dead indeed.

Several years ago I had been being a victim of sexual abuse. It happened when I was at 6th grade. I always say that I am a survivor because until now, I still fight with my past. I always say to my self that I am worth it. This is my body and it is in my authority. No one can touch me again without my permission. That is why I have concern in 'concent' issue. Some people thinks 'concent' is still taboo, but for me it is very important.

Back to media perspective about Y. Sometimes, it makes me remember my story. It was really hurtful and I hope they realize it. Hope the gov will ratify the planning article about sexual violence (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) soon.

Btw, here I add some pictures from the solidarity actions in Monas, last week (4/5/2016):


My friend is holding a poster. It said "Save Our Sister". 


Simponi is playing their song "Sister In Danger".

The activists are holding poster "Stop Kekerasan terhadap Perempuan!"

"Nyalakan tanda bahaya!"

Rabu, 13 April 2016

Cerita Tentang Malam yang Resah

TENGAH MALAM begini saya masih duduk di depan laptop. Memandangi timeline twitter dan facebook, lalu sesekali menggerutu dan memaki dalam hati.  Sesekali lagi saya mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan yang harus diselesaikan beberapa hari lagi. Kemudian kembali menatap timeline media sosial itu. Seperti berharap ada sesuatu yang dapat saya baca. Namun rupanya tidak. Rupanya  guyonan seksis  lebih menarik dibagikan oleh kawan-kawan saya di facebook dibandingkan informasi bermanfaat. Entah bagaimana dulu saya bisa berkawan dengan mereka di facebook.

Malam kemarin dan beberapa malam sebelumnya saya membaca berita, pekerjaan sampingan saya di luar menjadi mahasiswa yang belum lulus-lulus ini. Berita mengenai kekerasan seksual. Perlahan-lahan saya mulai terlelap walaupun bacaannya belum selesai. Di sini ceritanya dimulai.

Beberapa kali saya membaca berita mengenai kekerasan seksual, tentunya dengan diikuti umpatan dari mulut saya untuk si pelaku. Menganalisa berita kekerasan ini tidak semudah melihat bagaimana tone berita hari ini mengenai perusahaan kita. Lebih kompleks dari itu, melibatkan hati dan juga otak yang harus selalu berjalan beriringan. Mungkin saya lelah, sampai akhirnya tertidur sendiri.

Mimpi saya aneh. Malam pertama, saya sangat terhina dengan mimpi saya sendiri. Pasalnya, dalam mimpi itu saya digambarkan menjadi seorang plagiat dalam sebuah karya tulis saya. entah apa maksudnya. Malam kedua saya mimpi disidang untuk penelitian saya. sungguh, ini bukan rekayasa. Hasilnya menggantung, mungkin Tuhan sedang menyolek saya untuk kembali melihat penelitian saya yang memang sebentar lagi akan disidangkan.

Entah bagaimana hubungannya, tapi akhir-akhir ini saya merasa mendapatkan tekanan yang sangat tinggi dari diri saya sendiri. Selain karena memang sedang memikirkan hasil penelitian saya, berita yang saya temui di analisa media tersebut ternyata diam-diam membawa saya pada pengalaman buruk yang pernah saya alami beberapa tahun lalu. Tepatnya, saya pernah menjadi korban bully-ing di masa-masa SMP saya karena tubuh saya yang dianggap tidak pantas untuk anak SMP.

Hidup tidak bisa seadil yang saya pernah bayangkan ketika saya kecil. Dulunya saya menganggap dunia akan indah saja meskipun saya beranjak dewasa. Nyatanya tidak. Terpapar realitas membuat saya semakin mengutuk diri sendiri yang  hanya bisa diam. Hari ini saya membaca berita ibu-ibu petani dari sebuah daerah yang datang ke Jakarta untuk bertemu presiden, untuk bicara mengenai penolakkan warga mengenai pembangunan pabrik semen di daerahnya. Memasung kaki mereka menggunakan semen sebagai bentuk bahwa pabrik semen tersebut kelak akan memenjara mereka, sama seperti yang dilakukan oleh pasungan tersebut. Padahal wilayah itu adalah milik mereka sendiri dan di sanalah mereka hidup, mencari makan, dan beristirahat.

Saya hanya bisa tercengang, menangis, dan sampai saat ini mengungkapkan kekesalan saya melalui tulisan. Meski tulisan ini tidak beruntun.. tapi memang ini yang saya butuhkan sebagai cara menyembuhkan jiwa saya yang mungkin –kelak pada waktunya- akan benar-benar tidak dapat sembuh. Tidak ada solusi yang dapat saya berikan dari tulisan ini, karena memang tulisan ini adalah tulisan kedepresian saya dalam melihat realitas. Saya takut akan realitas. Misalnya di depan saya ada jam yang menujjukkan pukul 12.44. Sedangkan besok pagi saya harus tetap menyelesaikan tugas yang tertunda. Dan entah kenapa, saya mulai takut dengan diri saya sendiri sekarang. Mungkin sudah saatnya tidur dan berimajinasi kembali.




Senin, 11 April 2016

Jilbab dan Pilihan

Akhir-akhir ini, kita kerap mendengar pertanyaan bahkan pernyataan yang memojokkan perempuan-perempuan tidak berjilbab. Mereka dipertanyakan keislamannya, mereka diberikan cap sebagai orang-orang yang belum menaati perintah agama. Tidak jarang orang-orang yang gembor mempublikasikan ini menggunakan bantuan visual yang mengerikan, seperti contohnya gambar seorang perempuan yang dibakar api neraka akibat tidak menggunakan jilbab.

Jilbab adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk menggunakannya atau tidak. Di sini saya tidak ingin menggunakan kata ‘perempuan yang belum menggunakan jilbab’ karena kalimat tersebut merujuk pada kalimat yang seakan mendorong dan memiliki keinginan semua perempuan untuk menggunakan jilbab.

Jilbab menurut Saya, sama selayaknya pakaian lainnya.. sama seperti topi, scarf…. Kita bebas menggunakannya ataupun tidak. Kita berhak untuk mengajak orang lain, tapi ingat hak kita juga dibatasi oleh hak orang lain. Jika seseorang tidak ingin menggunakan jilbab, biarlah. Itu pilihannya.

Saat ini jilbab dijadikan ukuran kecantikan yang baru oleh masyarakat kita, mungkin sebagian pembaca sudah sadar dengan hal ini. Tapi, biar Saya gambarkan pengalaman-pengalaman Saya dan pengalaman orang lain yang saya lihat. Seorang perempuan akan dianggap sempurna jika Ia menggunakan jilbab (tertutup), prilakunya santun, rajin ibadahnya, dan selalu keluar kata-kata bertema agama dari mulutnya. Mereka dianggap sebagai sosok yang sempurna, sehingga beberapa laki-laki yang berfantasi akan hal tersebut mengaminkan sosok kesempurnaan itu. Selanjutnya, aturan yang harus ditaati oleh ‘perempuan sempurna’ ini adalah tentunya tidak merokok, tidak minum alkohol, tidak sering ke tempat hiburan malam, dan juga beberapa hal yang dianggap masih tabu oleh masyarakat kita. Jika melanggar, maka gugurlah sosok tersebut. Mereka akan mendapatkan stigma perempuan yang tidak baik-baik. Perempuan dikotak-kotakkan dan diberikan kelas. Seakan kita bukanlah manusia  yang sama seperti dunia laki-laki. Pemikiran ini kelak diaminkan oleh beberapa perempuan. Miris.

Kemudian, saya juga kerap mendengar mengenai perbandingan perempuan satu dengan perempuan lainnya yang diibaratkan dengan permen ataupun kue di pasar. Yang satu kue di etalase dan tertutup, dan yang satunya lagi kue di emperan dan terbuka.. dilaleri.. kue yang pertama adalah perempuan berjilbab, dan perempuan yang kedua adalah yang tidak berjilbab. Analogi macam apa ini? tidak masuk akal, bagaimana bisa manusia disamakan dengan benda?

Kaitannya dengan pembahasan sebelumnya, di sini saya mencoba menjelaskan bahwa memang dunia ini sayangnya milik laki-laki. Perempuan bahkan tidak memiliki ruang untuk memilih apa yang diinginkannya. Kita, toh bukan hanya objeknya laki-laki bukan? Kita manusia merdeka dan dapat menentukan sendiri definisi cantik kita tanpa harus melihat definisi yang dibuat sebagian laki-laki tersebut.


Saya adalah pengguna jilbab, dan ini adalah bentuk ungkapan perasaan saya yang selama ini kecewa.. yang dianggap paling suci, dan jika saya melakukan sesuatu di luar definisi suci tersebut, saya akan sangat dihina-hina. Penggunaan jilbab ini adalah salah satu bentuk kebebasan berekspresi saya. saat ini, saya nyaman dengan saya yang seperti ini. urusan dosa atau mendapat pahala, saya rasa itu sudah menjadi Hak Tuhan untuk memberikannya. Saya harap  tulisan singkat ini dapat mewakilkan keresahan saya selama ini. 

Kamis, 07 April 2016

Ketika Pertanyaan ‘Kapan Kawin?’ Sudah Melampaui Batas.



“Kapan kawin? Temen-temennya udah punya anak tuh.”
“Kapan kawin? Emang mau jadi perawan tua?”
“Kapan kawin? Ih pacaran lama gak bagus, banyak zinah!”

Tidak jarang bagi kita, anak muda yang umurnya berkisar antara 22 seterusnya mendapatkan pertanyaan tersebut dari orang-orang terdekat kita. Bahkan dari orang yang sama sekali kita tidak kenal. Tidak dapat dipungkiri pertanyaan seperti itu juga kerap mengganggu pikiran kita yang sebelumnya menganggap pernikahan bukanlah hal yang menjadi prioritas. Bukan semata-mata terganggu karena merasa ingin segera menikah juga, namun risih!

Sebagai anak muda yang sebentar lagi menginjak usia 22 Tahun, Saya sendiri kerap mendapatkan pertanyaan seperti itu dari kawan, saudara, orang tua, hingga orang yang Saya baru kenal. Beberapa di antaranya beralasan karena Saya sudah terlalu lama menjalin hubungan dengan partner Saya. Beberapa di antaranya sedang berada pada euphoria ‘asik nikah muda’. Pada tulisan ini Saya tidak akan menyalahkan pihak yang ingin menikah muda ataupun sebaliknya. Saya hanya akan mengemukakan pikiran dan alasan mengapa sebenarnya pertanyaan ‘Kapan Nikah’ ini harus dikurangi dan bahkan dihapuskan.

Dari banyaknya pertanyaan ‘kapan nikah?’ yang dilontarkan kawan-kawan saya, tidak jarang saya menjawab dengan nada datar ’nanti umur 29 tahun!’, atau jika dalam keadaan sabar yang tinggi Saya akan menjawab ‘ya nanti, abis Saya kerja!’. Sungguh, tidak ada jawaban yang benar-benar serius Saya lontarkan untuk pertanyaan ini.

Pernah Saya membaca sebuah artikel yang menjelaskan bahwa pertanyaan seperti ini sesungguhnya telah melanggar hak privasi seseorang. Orang di balik pertanyaan ini seakan ingin mengusik orang yang ditanya-nya dengan pertanyaan tersebut. Sesungguhnya, apa sih keuntungan yang didapat dari penanya jika yang ditanya memang segera akan menikah? Ini perlu dikaji kembali, apakah pertanyaan ‘kapan kawin’ ini memiliki arti sendiri atau Cuma pertanyaan basa-basi?

Permasalahan lainnya pada pertanyaan ini kerap menjurus pada perlakuan memojokkan posisi perempuan. Pada dasarnya, posisi perempuan dalam sistem masyarakat kita ada di kelas dua. Perempuan ‘dinikahkan’, bukan ‘menikah’. Kedua hal tersebut jelas berbeda. Dinikahkan adalah seakan-akan perempuan tersebut tidak punya hak atas dirinya sendiri, Ia diambil, dinikahkan, dimiliki, dan dibawa pulang oleh orang yang menikahkan. Sedangkan menikah adalah komitmen dua pihak yang sama-sama ingin terikat di hukum dan agama.

Menikah di usia tua ataupun muda (di atas usia matang) tidaklah masalah, asal memang atas persetujuan dua belah pihak. Dan keduanya tidak ada yang terpaksa dalam pernikahan tersebut. Banyak loh anak-anak yang menjadi korban pernikahan anak di bawah usia semestinya, sayangnya Negara kita kalah dengan aturan-aturan lainnya. Padahal hal ini akan berbahaya pada pengantin perempuannya, yang beresiko meninggal di usia dini. Mungkin kita harus berkaca karena terlalu mempermasalahkan moral orang dibandingkan melihat dampak panjang dari permasalahan tersebut. Masyarakat kita kerap terjebak pada anggapan jika tidak dinikahkan muda, maka Ia akan berzina. Menurut Saya, apapun alasannya Hak pendidikan anak harus tetap diberikan. Menikahkannya di usia muda hanya akan memotong Hak pendidikan tersebut. Dampaknya? Banyak. Salah satunya pemiskinan perempuan karena Hak pendidikannya dipotong.

Membahas mengenai ‘perawan tua’ karena lama menikah. Saya cukup kecewa jika ada kawan yang berbicara seperti ini di depan Saya. Kenapa? Orang itu telah melanggar hak seorang perempuan untuk memilih dirinya menikah di usia berapa, terlebih lagi Ia juga melanggar hak perempuan untuk memilih apakah dirinya akan menikah atau tidak. Kata ‘perawan tua’ seakan menghakimi perempuan bahwa Ia adalah makhluk menyedihkan yang seharusnya telah lama menikah. Kita hidup di dunia dimana perempuan menjadi kelas dua sehingga Ia tidak dapat berdiri dan menentukan dirinya sendiri. Untuk itu stigma semacam ini harus dilawan.

Jika boleh menjawab, pertanyaan kenapa Saya tidak ingin turut dalam trend ‘nikah muda’ yang sedang berkembang saat ini, pertama sudah dijelaskan sebelumnya Saya ingin menikah bukan dinikahi. Sehingga dengan alasan ini Saya punya Hak untuk menentukan kapan Saya akan menikah dan bagaimana perjalanan hidup saya.

Ohya, Saya selalu turut bahagia dengan pernikahan siapapun. Beberapa kawan ada yang merasa aneh jika membicarakan masalah pernikahan dengan Saya karena dianggap Saya kontra dengan pernikahan muda. Tidak, Saya tidak kontra sama sekali. Setiap orang punya Hak untuk memilih.

Akhir kata, Kita tidak pernah tahu bagaimana latar belakang kehidupan seseorang. Mungkin saja kamu bertemu dengan orang yang menganggap ‘kapan kawin’ itu sebagai  pertanyaan penting dan harus segera di selesaikan, padahal orang itu masih punya sejuta mimpi yang harus digapai. Tapi karena pertanyaanmu yang membuatnya kepikiran, Ia rela menomerduakan mimpinya untuk menjawab pertanyaanmu. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan sebelum bertanya kembali ‘kapan kawin?’ ke orang yang sama.


Rabu, 06 April 2016

Di Balik Panggung Andy F. Noya

Sumber Gambar: nasional.kompas.com


Judul Buku: Sebuah Biografi Andy Noya: Kisah Hidupku
Penulis: Robert Adhi KSP
Editor: Andina Dwifatma
Penerbit: Penerbit Buku KOMPAS
Tahun Terbit: 2015

Kita mengenalnya sebagai Andy Noya, pembawa acara program “Kick Andy” yang selalu diidentikkan dengan dirinya. Dalam program tersebut, Andy kerap mengundang tokoh-tokoh inspiratif untuk ditampilkan kepada publik. Tokoh-tokoh yang menginspirasi tersebut datang dari berbagai latar belakang dan ditampilkan ke hadapan publik untuk memperlihatkan sisi baik kehidupan. Bahwa masih ada perjuangan dan kebaikan yang menginspirasi di balik banyaknya permasalahan kehidupan.  

Andy dikenal sebagai sosok yang dapat melontarkan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada tamu dalam acaranya, namun tetap dalam gaya yang santai. Bahkan Ia juga kerap menyelipkan humor di balik pertanyaan-pertanyaan tajamnya itu untuk mencairkan suasana.

Di balik “panggung”nya yang banyak bercerita mengenai kisah kesuksesan orang lain, rupanya Andy juga memiliki banyak cerita dalam panggung kehidupannya sendiri. Cerita-cerita tersebut sangat inspiratif meskipun harus melewat perjalanan panjang, sehingga Ia dapat mencapai pada posisinya saat ini.

Kisah Sewaktu Kecil

Kisahnya dimulai dari masa kecil Andy yang kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi karena alasan Ia anak keturunan Belanda, saat itu memang semangat melawan penjajahan Belanda dari arek-arek Jawa Timur masih cukup kental. Tidak berhenti di situ, cobaan hidup juga dialaminya setelah ayah dan ibunya berpisah, sehingga Ia harus menjalani masa-masa sulit untuk pindah satu tempat ke tempat lainnya mulai dari Surabaya, Malang, Jayapura, hingga Jakarta.

Pada waktu perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya tersebut Andy banyak mengenal kawan. Mulai dari yang membawanya pada dunia yang gelap hingga kawan yang menginspirasi. Tidak sedikit cerita ditemukan bahwa pada masa kecilnya Andy sempat menjadi anak yang nakal, selain karena minimnya pengawasan orang tua, juga karena dukungan dari kawan-kawannya. Puncak kenakalannya itu hampir mengarah ke tindakan kriminal. Ajaran tindakan kriminal ini didapatkannya dari kawanan ‘geng tiga bersaudara’, yang di kemudian hari sempat membuat Andy babak belur karena berusaha untuk meninggalkan kawanan ini.

Karir Cemerlang Andy

Minatnya pada bidang jurnalistik sudah terlihat semenjak Ia menduduki bangku Sekolah Dasar, kekuatan itu tumbuh bersama dengan dukungan moral seorang guru yang hingga sampai detik ini selalu diingat oleh Andy. Ialah ibu Ana, guru SD Andy yang memiliki pengaruh besar pada minat Andy di bidang jurnalistik. Saat Andy kalah dalam kompetisi antar kelas, Ibu Ana datang menghampirinya dan menguatkan Andy untuk tidak bersedih, Ia mengatakan bahwa Andy anak yang pandai dan memiliki talenta dalam menulis. Jika dikembangkan, suatu saat nanti Andi bisa menjadi wartawan katanya.

Setelah lulus dan menjadi lulusan terbaik dari salah satu Sekolah Teknik Menengah (STM) di daerah Jakarta, Andy mendapat tawaran beasiswa untuk bersekolah di IKIP Padang, namun keinginannya untuk menjadi wartawan lebih besar dan semakin meledak ketika Ia membaca artikel mengenai Sekolah Tinggi Publistik (STP) di sebuah majalah.

Saat masuk ke Sekolah Tinggi Publisistik ini, keinginan untuk terjun langsung ke dunia jurnalistik Andy semakin tinggi. Ia mulai menjadi reporter kontrak untuk proyek buku Grafitipers, “Apa dan Siapa Orang Indonesia”. Pada kesempatan itulah Ia menunjukkan kemampuannya dalam menulis dan berhasil mewawancarai sejumlah orang penting di Indonesia. Kelak Ia juga dimintai bantuan untuk menjadi editor dalam proyek ini.

Andy memiliki pengalaman jurnalistik yang cukup beragam. Karirnya dimulai pada saat pertama kali Ia mencoba masuk di harian ‘Prioritas’, namun karena alasan surat izin penerbitan yang mandek, akhirnya Andy memilih mencoba kembali di media ekonomi ‘Bisnis Indonesia’. Setelah bekerja di ‘Bisnis Indonesia’, Ia kemudian pindah ke majalah ‘Matra’ yang isinya mengenai gaya hidup. Setelah selesai pada majalah ‘Matra’ ini, Andy bekerja pada perusahaan yang dimiliki Surya Paloh, mulai dari media cetak harian hingga pada media elektronik.

Percobaannya untuk masuk ke harian Prioritas kala itu membawa pertemuan Andy dengan pemilik media yang Ia sebut mirip dengan “Che Guevera” itu. Setelah perkenalan dengan Surya Paloh tersebut, kisah mengenai kehidupan Andy ini banyak berisi cerita tentang ketika Ia bekerja dengan Surya Paloh. Mulai dari ‘Media Indonesia’ hingga akhirnya keluar ide dari Surya Paloh untuk membangun ‘Metro Tv’.

Andy dalam buku biografinya ini banyak memberi ruang untuk bercerita mengenai Surya Paloh. Ia menuturkan bahwa Surya Paloh adalah pemimpin yang egaliter dengan bawahannya. Dibuktikan dari hasil-hasil perdebatan antara Andy dan Surya Paloh, meskipun Surya Paloh adalah atasan Andy, Ia banyak menerima masukan dari Andy. Bahkan bukan hanya Andy saja, namun juga dari bawahan-bawahannya yang lain.

Pengalaman di bidang Jurnalistik Andy yang cukup panjang membuat idealismenya semakin kokoh. Ia selalu berjanji pada dirinya sendiri untuk memegang teguh prinsip-prinsip dasar yang sudah lama Ia tekuni, termasuk pada permasalahan pemberian amplop yang kerap dilakukan narasumber. Dengan tegas ia akan menolaknya. Hal ini juga ia terapkan ketika ia memimpin, di saat ada anak buahnya yang mencoba bermain dengan masalah amplop tersebut, Ia tak akan segan-segan mengeluarkan anak buahnya meskipun itu kawan baiknya atau bahkan anak emas sang pimpinan.

Pada akhir buku ini, diceritakan bahwa Andy memulai kehidupan lainnya sebagai pegiat sosial, untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Sebenarnya pekerjaan sosial sudah dilakukan sebelumnya melalui ‘Kick Andy Foundation’ , namun Ia dan istrinya kemudian membangun kembali komunitas baru yang dibiayai dari kantong pribadinya.

Pemaparan Realitas

Banyak kisah-kisah terselip dalam buku ini yang menggambarkan realitas kehidupan sesungguhnya. Misalnya mengenai kasus “suap” yang Andy saksikan sendiri dari guru STM-nya pada masa Ujian Akhir. Kemudian ketika tumbuh dewasa, praktek “suap” ini rupanya muncul juga di dunia Ia bekerja sebagai jurnalis. Kisah-kisah Andy yang dipaparkan dalam buku ini mengajarkan kepada pembaca bahwa dalam menghadapi permasalahan seperti ini, seseorang harus memiliki prinsip hidup yang kuat dan juga ketegasan. Terutama kasusnya saat seseorang menjadi Jurnalis yang dituntut untuk menjadi netral, saat Ia memiliki ‘hutang budi’ pada satu pihak, Ia akan sulit untuk menjadi objektif.

Buku ini juga banyak menceritakan mengenai permasalahan nasional dan bagaimana sudut pandangnya dari segi jurnalistik. Misalnya dalam bercerita kasus bentrok kedua kubu PDIP pada 27 Juli 1996 dan pada masa referendum Timor-Timor, dari kedua kasus nasional ini Ia sebutkan bahwa media harus memiliki sikap. Memiliki sikap bukan berarti membela semaunya, namun dalam konteks ini adalah membela yang benar dengan pemberitaan harus tetap objektif. Pembaca dibuat bukan hanya membaca kisah hidup Andy, namun juga mendapatkan informasi bagaimana menegakkan idealisme bersama di atas sebuah kasus yang penuh dilema. Apalagi saat permasalahan PDIP itu masih di bawah kuasa rezim orde baru.

Pemaparan pada buku ini banyak menunjukkan realitas lainnya yang dekat dengan kehidupan masyarakat seperti kemiskinan, dijabarkan lewat kisah Andy melalui gaya penulisan buku yang mudah dicerna. Sudut pandang “aku” membuat seakan-akan Andy adalah penulis dari buku ini dan dekat dengan pembaca. Pembagian tulisan dalam sub judul membuat emosi pembaca turun naik. Jika diawali dengan cerita yang menyedihkan, penulis kemudian mampu membagi dan menyelipkan guyonan dalam sub-bab tulisan-tulisan yang terkesan ‘tidak ada kaitannya’, padahal itulah yang membuat emosi pembaca naik turun.

Sayangnya, alur waktu pada buku ini masih belum terlalu jelas. Waktunya maju mundur dan tidak diberikan konteks waktu yang jelas. Sehingga pada beberapa bagian dapat menimbulkan kebingungan pembaca. Namun kekurangan ini juga tidak mengurangi substansi buku, karena buku ini telah mampu memberikan banyak manfaatnya dan mampu menjabarkan jawaban atas tujuan untuk menginspirasi orang lain.